“Selalulah
bersama kebenaran, walaupun engkau sendirian.”
(Hal-1) Alangkah idealnya pesan ini bagi mereka yang
mampu memilah egoisme pribadi dan tarikan negative grafitasi in grouping yang sering tampil menjadi
kembaran egoisme itu sendiri. Perasaan ikhlas kadang terkacaukan oleh
kecenderungan egoisme akan melahirkan khawarij
zaman yang dungu dan menafikan kebersamaan, hanya karena kelemahan umat
dalam menggapai injazat (karya-karya)
dakwah secara serempak, kemas dan tuntas. Seperti egoism murjiah yang menikmati kelezatan fatalism dan mengolah menunya
untuk duduk disantap dengan lahap oleh para tiran: “vonis itu nanti di sana,
dan amar ma’ruf nahi munkar tiada guna, dosa jangan disesali dan kebajikan
usahlah disyukuri, karena kita cuma setitik debu yang diterbangkan angin takdir
kemana ia mau.”
(Hal-2) putus asa telah membuka lebar-lebar pintu nafsu
mendorong masing-masing kelompok untuk berbangga diri. Seandainya saja
karya-karya mereka dapat dirakit menjadi kesatuan produk umat, niscaya ia akan
menjadi mozaik-mozaik indah dalam lembaran sejarah umat. Alangkah indahnya
klaim-klaim mereka, kalau saja amaliahnya tidak mencabik-cabik kebersamaan yang
dalam tataran operasional nyaris menjadi aksioma kebenaran yang tak pernah
takut sendirian dalam keterasingan itu.
Di
jalan Dakwah banyak bertumbangan kader dengan kadar militansi yang nyaris total
pada momentum yang sebenarnya masih dapat dikompromikan. Sebaliknya, tak
sedikit semua itu mencair pada momentum yang seharusnya militansi itu hadir
dengan tegar. Semoga Allah merahmati Imam Syafiie yang salah satu qidah figh
unggulannya adalah Alkhuruj Minal Khilaf
Mustahab (keluar dari khilafiyah sangat disukai). Tentu saja ini berlaku
dalam hal yang kompromistik. Tak ada tempat bagi mereka yang sengaja memuaskan
syahwat menghindari syari’ah atau produk ijtihad yang representative dengan
dalih “inikan perkara khilafiah atau itu
kan tafsiran subyektif Ibnu Katsir dan Sayid Quthb.” Atau semangat zaman
telah menaklukkan makna hakiki sabda. Akhirnya semuanya boleh kecuali yang
bertentangan dengan nafsu mereka. Untuk meyakin-yakinkan public terkadang
mereka mengutip kaidah-kaidah Fiqh Dakwah dan pada saatnya mereka terbentur
dengan prinsip: “tak semua khilaf datang
dengan( bobot) yang pantas diterima, kecuali khilaf yang berakar pada nalar
(yang benar).”
(Hal-3) seperti orang yang tak mau shalat hanya karena
ada beberapa perbedaan teknis yang mereka tak (mau) tahu batas toleransinya.
Atau seorang alim yang menjustifikasi pakaian yang membuka aurat, hanya karena
ada perbedaan aplikasi, antara perempuan kota yang resik dan kering dengan
perempuan sawah yang sehari-hari bergelut dengan lumpur.
Faqih dan “Sufi”
Pertarungan
kedua kubu ini nyaris tak pernah berakhir kecuali di tangan ulama yang menjadikan
kefaqihan dan “kesufian” sebagai pakaian diri sebelum menjadi tarikan grafitasi
in grouping. Cukup adil vonis yang
dijatuhkan Alim Quraisy bagi perseteruan klasik ini.
Menjadi faqih dan sufi, jangan jadi satu
saja
Ku nasehati engkau agar waspada
Yang ini keras, hatinya tak pernah
mengenyam taqwa
Yang ini jahil, apa dengan jahil bisa lurus
sesuatu perkara?
Ketika
bidikan menyimpang satu millimeter, apakah peluru yang melesat dari laras juga
akan menyimpang satu millimeter dari sasaran? Sebagian kaum sufi yang memuja dzauq (rasa) melecehkan fuqaha yang
bersiteguh pada dhawabith (patokan-patokan)
yang terkadang terkesan formalistik. Kelak akan kaum pencinta kebenaran yang
begitu santun, berbinar hati dan bermagnet besar, dengan kadar penyimpangan
fiqh sampai pada tingkat yang (Hal-4) tak bisa ditoleransikan. Para fanitikus fiqh yang
kering ruhani, kerap jatuh pada fatwa yang sofistik (safsathah) dan anarkis. Walaupun terdengar naïf, namun nyata ada kebanggaan fatwa:
“Seseorang yang menggauli istrinya di siang
hari bulan Ramadhan, dapat membayar qadha’nya hanya sehari. Syaratnya ia harus
membatalkan puasanya terlebih dahulu dengan makan dan minum.”
Atau
kisah 50 santri yang sangat bangga dengan kealiman mereka seraya melecehkan
orang-orang yang beragama dengan jahil yang karenanya menjadi susah. Mereka
duduk membuat lingkaran. Yang pertama mengikrarkan, 3 ½ liter beras di tangannya menjadi zakat
fithr yang ia serahkan kepada santri yang disampingnya. Santri kedua menjadikan
zakat yang telah menjadi miliknya itu sebagai zakat bagi santri ke tiga dan
seterusnya sampai kembali kepada muzakki yang pertama. Dengan cerdas mereka
berhasil membayar zakat fithr 3 ½ liter
untuk 50 orang ! semoga ini terobosan “cerdas” 50 orang yang sudah tidak punya
apa-apa lagi, selain 3 ½ liter pada
seorang diantara mereka.
Di
seberang sana tanpa label faqih dan sufi ada seorang perempuan yang menolak
kehadiran mertua, karena suami berpesan jangan menerima kehadiran siapapun
selama ia musafir. Atau ada seorang laki-laki yang pergi berbulan-bulan
meninggalkan anak istri tanpa nafkah, karena alasan perjuangan yang sangat
mulia, berdakwah ke segala penjuru mata angin.
Bersama Kebenaran dan Ahlinya
Cinta
kebenaran yang memenuhi hati pembelanya mestilah (Hal-5) melahirkan kebersamaan dan kecintaan
kepada ahlinya. Kekeringan ruhani kerap melanda mereka yang begitu menguasai
banyak pengetahuan teoritik bahkan mendakwahkannya, namun hati mereka kosong
dari kebersamaan dengan para pembelanya. Ketentraman hati dengan pengisahan para
rasul adalah aksioma Al Qur’an;
“Dan
masing-masing kisah para rasul Kami kisahkan kepadamu, hal yang dengannya Kami
teguhkan hatimu…. (QS. Hud: 120)
Namun
mengapa masih juga terjadi keraguan dan kegamangan? Karena si ragu dan si
Gamang tidak memancangkan receivernya
pada gelombang siar yang sama dari pemancar. Hanya ada dua kemungkinan, ia
menset gelombang berbeda atau frekuensi yang jauh lebih kuat dari gelombangnya.
Bagaimana mungkin siaran bacaan Al Qur’an dari pemancar dapat berubah menjadi
rock atau rap di pesawat penerima?
Tinggalkan
polemik apakah ruh rasul datang pada momen-momen tertentu. Cukuplah
kebersamaannya sesudah kebersamaan Allah memenuhi relung hati, menggemakan
pesan firman suci;
“Dan
ketahuilah, bahwasanya di tengah kamu ada Rasulullah. Seandainya ia menurut
kamu dalam banyak urusan, niscaya kamu akan menjadi celaka. Akan tetapi Allah
telah menciptakan kamu akan iman dan Ia menghiaskannya di hati kamu dan ia
bencikan kamu kepada kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan… (QS. Al Hujurat:7)
Dalam
makna apapun, ikut menikmati kebersamaannya bersama sahabat yang kepadanya ayat
ini pertama kali ditujukan menjadi kebahagiaan dan kekuatan dalam (Hal-6) mengarungi
kehidupan.
“Siapa yang terluput melihat Al Mukhtar
(Rasulullah pilihan)
Lihatlah peninggalannya; Al Qur’an dan
Sunnah yang besar”
(Syaikh
Naqsyabandi)
Bagaimana
mungkin hati ummat dan kadernya di ujung zaman, menjadi kerontang, sementara
dalam adzan selalu disebut namanya sesudah nama-Nya. Bagaimana kader merasa
lemah, yatim dan terasing, padahal Ia telah nyatakan, para istrinya adalah ibu
mereka? Kalau para istrinya adalah ibu mereka, siapakah dia bagi mereka?
Walaupun
dalam kapasitas, format dan bobot yang jauh dari generasi para sahabat, namun
komunitas dakwah yang memasang gelombang setara dengan pemancar masih ditemukan
“Hudzaifah” dan “Umar” seperti juga “Nuaim” dan “Ammar”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar