Di alam
batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimaknai
dengan pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya
mempunyai energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti
begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan
arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki,
selamanya membuat hidup terus bertumbuh.
Semakin
tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan. Begitu
kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian semakin
kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan
semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita mendapatkan nafas untuk
terus mendaki.
Tapi kita
perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak memberikan kita
kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusikan energi secara seimbang
dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang
tersedia.
Rute yang
jelas dan akurat akan membuat kita jadi terarah. Keterarahan, atau perasaan
terarahm, sense of direction, memberi kita kepastian dan kemantapan hati
untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir
ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita tahu kemana kita melangkah,
berapa jauh jarak yang harus kita tempuh, berapa lama waktu yang kita perlukan.
Ketika kita menengok ke belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang
telah kita lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak
yang telah kita lalui. Ilham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah
dan cerah dalam realitas kekinian.
Rute itu
membuat kita menjalani kehidupan denga penuh kesadaran akan jarak dan waktu.
Dalam kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya untuk menjadi efisien,
efektif dan maksimal. Kita menjadi peserta kehidupan yang sadar, kata Muhammad
Iqbal.
Kesadaran
itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan kekhusyukan. Maka begitulah
sejak dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode Makkah, Allah menegur
keras para sahabat Rasulullah saw, generasi pertama Islam, untuk tidak banyak
bercanda dan segera menjalani kehidupan dengan kekhusukan:
“Belumkah datang saatnya bagi orang-orang
yang beriman untuk mengkhusukkan diri mengingat Allah dan (melaksanakan) apa
yang turun dari kebenaran itu (Al- Qur’an)”.