oleh : Anis
Matta, Lc.
Suatu
hari, lebih dari 15 tahun lalu, lelaki itu datang dengan tenang. Jaket tentara
rada lusuh yang ia kenakan membuatnya tampak gagah dan berwibawa. Tapi
kelembutan tetap memancar kuat dari sorot matanya. Disana ada cinta. Disana ada
cinta. Memanggil-manggil. Seperti sinar purnama yang memancar kuat menembus
awan malam. Itulah pertama kali saya melihat guru saya, KH.Rahmat Abdullah,
ketika beliau mengisi salah satu materi dalam sebuah dauroh di Puncak. Saya
masih mahasiswa saat itu. Pertemuan pertama itu menguatkan kesan yang telah
terbentuk sebelumnya dalam benak saya tentang wajah seorang dai, seorang
murobbi, seorang mujahid. Setidaknya pada biografi tokoh-tokoh pejuang Ikhwan
di Mesir, atau Jamaat Islami di Pakistan, atau Masyumi di Indonesia.
Ketika
beliau berbicara lebih dalam mengenai fiqh dakwah, saya segera menyadari bahwa
kedua kaki saya telah melangkah jauh kedalam kafilah dakwah yang selama ini
hanya saya rasakan dalam bacaan. Walaupun sama-sama berada dalam kafilah dakwah
ini, tapi bertahun-tahun kemudian saya belum pernah bertemu dengan beliau dalam
satu tim kerja. Sampai akhirnya perjalanan dakwah ini menemukan hajat besar
untuk membentuk partai politik. Berdirilah Partai Keadilan pada tahun 1998.
Sejak itu hingga beliau wafat pada Selasa 14 Juni 2005 lalu, saya bertemu
secara intensif dengan beliau di Lembaga Tinggi Partai.
Di
antara pelajaran hidup yang saya peroleh dalam perjalanan dakwah ini adalah
fakta bahwa wazan atau timbangan seseorang dalam hati kita, atau dalam
komunitas kita, biasanya baru menjadi nyata dan jelas setelah orang itu pergi.
Mungkin ini salah satu hikmah mengapa Islam melarang kita menyanjung orang
hidup: karena kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupannya akan berujung.
Setelah
seseorang pergi, kita segera tahu "ruang kosong" apa yang
ditinggalkan orang itu dalam hati kita, atau dalam komunitas kita. Kesadaran
kita tentang ruang kosong itu tidak akan pernah begitu jelas selama orang itu
masih hidup dan berada di antara kita, sejelas ketika orang itu akhirnya pergi.
Ruang kosong yang dirasakan setiap orang pada seseorang tentu saja
berbeda-beda. Tapi jika orang-orang itu berada dalam komunitas yang sama, maka
ruang kosong yang kita rasakan secara kolektif biasanya selalu sama. Kalau kita
menelusuri ruang kosong yang ditinggalkan seorang tokoh, lalu kita mencoba
menemukan "kunci kepribadian" tokoh itu, biasanya kita akan menemukan
takdir sejarahnya secara lebih akurat. Kunci kepribadian adalah alat kecil yang
membuka pintu bagi kita untuk menemukan penjelasan tentang makna dan korelasi
dari setiap tindakan seseorang. Itu dua kata kunci: ruang kosong dan kunci
kepribadian, yang mengantar kita untuk menemukan tempat dimana seorang tokoh
bersemayam dalam sejarah.
Jika
belajar sejarah lebih dalam, kita akan menemukan satu fakta bahwa tokoh-tokoh
memberikan porsi yang sangat besar dalam menjelaskan berbagai peristiwa besar
dalam sejarah. Walaupun bukan merupakan seluruhnya, tapi Hasan Al Banna adalah
penjelasan besar tentang fenomena Ikhwanul Muslimin di Mesir. Begitu juga Al
Maududi adalah penjelasan besar tentang Jemaat Islami di Pakistan. Seperti juga
Cokroaminoto, Soekarno, Agus Salim, Natsir, Tan Malaka, Aidit adalah penjelasan
besar tentang Indonesia pada paruh pertama abad 20.
Tidak
sulit bagi mereka yang pernah berinteraksi lama dengan Rahmat Abdullah untuk
menyimpulkan bahwa beliau adalah simbol spiritualisme PKS.
Spiritualisme
adalah kata kunci menjelaskan dan merangkum sifat-sifat utama beliau: ikhlas,
zuhud, wara’, tawadhu’, shidiq dan cinta. Tampak luar dari semua sifat itu
adalah kelembutan. Dan itulah yang kita rasakan dalam setiap interaksi dengan
beliau: selalu ada canda, selalu ada kehangatan, selalu ada kegembiraan, selalu
ada cinta. Tapi semua terengkuh dalam nuansa spiritual yang kental. Jiwanya
seperti ruang besar yang dapat menampung semua karakter. Karena itu anak-anak
muda dengan berbagai karakter merasakan ketenangan batin saat bersama beliau:
semacam limpahan kasih sayang yang tak pernah habis. Dalam halaqahnya berkumpul
para intelektual, pengusaha, aktivis sosial dan lainnya. Dan yang unik, seorang
murid beliau yang memiliki latar belakang kehidupan anak-anak tentara yang
keras dan kasar mengatakan bahwa hanya karena kelembutan beliau saya bisa
bergabung dengan dakwah ini. Mungkin itu sebabnya para kader lantas menjuluki
beliau sebagai Syekh Tarbiyah.
Kita
juga merasakan sentuhan spiritualitas yang kuat itu ketika beliau membacakan
doa dalam demonstrasi-demonstrasi mendukung perjuangan saudara-saudara kita di
Palestina, Irak, Afghanistan dan lainnya. Isi doa-doa beliau merefleksikan hati
penuh makrifat pada Allah swt. Makrifat itulah yang menyentuh dan menundukkan
hati kita pada Allah swt: tiba-tiba saja hiruk pikuk demo berubah menjadi
majlis zikir yang khusyuk, dan teriakan-teriakan perlawanan berubah jadi tangis
jiwa yang pilu bertawakkal.
Ketika
sifat-sifat utama dibawa kedalam kerja-kerja dakwah yang bersifat struktural
dalam kerangka amal jama’i, beliau selalu bisa bekerjasama dengan semua orang.
Sifat-sifat utama itu mungkin tidak selalu kompatibel dengan jabatan-jabatan
struktural yang memerlukan keterampilan manajerial dan tehnis. Tapi sifat-sifat
itu efektif menyatukan orang-orang dengan potensi tehnis. Karena itu, mungkin
prestasi terbaik beliau adalah ketika beliau menduduki posisi sebagai ketua
bidang kaderisasi di DPP sebelum akhirnya menduduki posisi sebagai ketua MPP.
Disana anak-anak muda dengan kemampuan tehnis dan manajerial yang bagus menjadi
sebuah tim kaderisasi yang kompak dibawah bimbingan seorang syekh yang
mengayomi dengan lembut, dan berhasil mentransformasi kerja-kerja tarbiyah
kedalam kerangka institusi dengan landasan sistem yang kokoh. Warisan inilah
yang merupakan salah satu penjelasan tentang lompatan besar dalam sistem dan
kemampuan kerja tim kaderisasi PKS.
Rahmat
Abdullah telah pergi merengkuh takdir sejarahnya justru ketika dakwah ini
sedang memasuki babak baru dengan tantangan-tantangan baru. Menghabiskan
seluruh usia produktifnya dalam perjuangan dakwah, Rahmat Abdullah telah
meninggalkan ruang kosong yang besar: simbol spiritualisme dakwah kita yang
selalu menghadirkan cinta dalam semua kerja dakwah. Para pencinta adalah
pemilik ruh yang lembut. Rahmat Abdullah adalah ruh yang lembut: lembut seluruh
hidupnya, lembut cara perginya.
Diposkan
oleh DPW PKS DIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar