Pengujung transisi
menuju demokrasi adalah situasi yang khas: ekspektasi akan hidup yang lebih
baik kian membuncah tapi pada saat yang sama energi dan euforia– bahkan
kesabaran–sudah menyurut.
Fase pungkas
transisi, yaitu konsolidasi demokrasi, adalah jalan sepi yang ditempuh dengan
ketekunan, bukan panggung ingar-bingar penuh deklamasi. Dalam tahap ini
diperlukan pemimpin yang mampu menggerakkan sekaligus mendorong rakyat, agar
mau melangkah lagi agar tujuan transisi, yaitu demokrasi yang sejati dapat
tercapai. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Pemilu demokratis sudah tiga
kali kita lewati dan kini kita tengah melaksanakan pemilu demokratis keempat
dengan ekosistem politik yang jauh lebih stabil.
Kita telah berusaha
merumuskan arah yang ingin dituju agar transisi ini tidak menjadi jalan
berputar atau–malah lebih parah–berputar-putar tanpa arah. Tantangan itulah
yang coba dijawab dalam Sidang Umum MPR dan proses amendemen UUD 1945
pasca-Reformasi. Kita berusaha untuk menulis kembali cetak biru dan mempertegas
alasan kehadiran (raison d(raison detre) Negara Kesatuan Republik Indonesia
bagi semua warga bangsa yang berlindung dalam naungannya.
Dalam
perjalanannya, cetak biru itu harus berdialektika dengan realitas dan
ekspektasi yang terus berubah. Kini kita harus menjaga stamina agar negara dan
warganya tidak kehabisan tenaga untuk menuntaskan transisi demokrasi karena
janji perbaikan hidup sebagian belum terwujud.
Karena itu, kita
harus bekerja bersama menuntaskan transisi demokrasi dan menghindarkan
Indonesia dari jebakan transisi berkepanjangan (prolonged transition), di mana
nilai dan sistem lama telah dihancurkan namun nilai dan sistem baru belum
terbangun, atau belum mampu menghasilkan kehidupan lebih baik sebagaimana yang
dijanjikan.
Jebakan transisi
berkepanjangan ini membutuhkan pemimpin yang mampu memecah kebuntuan situasi
sekaligus menjaga api harapan tetap menyala untuk mencapai garis tujuan.
Demokrasi “Media-Sentris”
Kita tengah berada
di era “demokrasi melalui media” di mana media memegang peran penting dalam
mentransmisikan pesan ke dan dari masyarakat. Media telah menghablurkan batas
antara realitas yang kita alami sendiri dan realitas yang kita serap dari
media. Hari ini orang yang tidak tinggal di Jakarta bisa bercerita tentang
macetnya Jakarta akibat pengetahuan yang diserapnya dari media.
Ini juga yang
mempengaruhi ruang politik kita. Media berperan sangat penting karena media
tidak semata mempresentasi realitas, tetapi merepresentasi (mewakilkan
hadirnya) realitas ke depan khalayak. Menurut ahli kajian media David
Buckingham (2010), media tidaklah menawarkan jendela bening tembus pandang
untuk melihat “dunia”, namun menghadirkan sebuah “dunia” dalam versi yang telah
dimediasi.
Media bukan
menyediakan kacamata atau teropong, tapi menghadirkan akuarium sehingga kita
beranggapan bahwa akuarium itulah keseluruhan dunia ini. Yang terserak di luar
akuarium dianggap tidak penting dan bermakna. Logika media (terutama televisi/
tv) adalah “menonton dan ditonton” dengan dikotomi peran pasif-aktif yang
semakin kabur, terutama dalam konteks pemilihan umum.
Penonton yang
selama ini dinilai pasif dan tidak berdaya, dalam politik menjadi berdaya
karena dialah pemilik suara yang diperebutkan. Sementara, para tokoh politik
yang diimajikan berkuasa, sebenarnya sedang memainkan pertunjukan yang
naskahnya didiktekan oleh massa rakyat melalui survei opini publik. Dalam
situasi “media-sentris” seperti ini, sangat mudah orang terjebak untuk menjadi
penghibur bagi penonton.
Tokoh-tokoh politik
menyajikan tontonan yang menyenangkan hati penontonnya, melalui suatu
pertunjukan buatan. Apa yang dipertontonkan belakangan ini tentu berbeda makna
dan motivasinya dengan, misalnya, kebiasaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX keliling
Yogyakarta pada malam hingga subuh. Pada suatu kesempatan beliau memberi
tumpangan kepada seorang mbok pasar.
Ketika sampai di
pasar, orang-orang memberi tahu mbok bahwa yang memberinya tumpangan adalah
Ngarsa Dalem. Langsung mbok itu pingsan! Tidak ada media yang meliput, tapi
cerita itu hidup sampai sekarang. Cerita yang otentik, nyata, bukan
pertunjukan. Masyarakat umum mengetahuinya belasan tahun kemudian melalui buku
Takhta Untuk Rakyat.
Karena dikendalikan
dengan logika hiburan, bukan otentisitas, tokoh politik terjebak untuk
menyederhanakan masalah dan cara penyelesaian masalah. Ini tak terelakkan
karena dalam demokrasi media- sentris, durasi, jam tayang, prime time, sound
byte menjadi indikator utama. Pesan pemimpin dikemas mirip iklan yang renyah
dan berdimensi tunggal agar mudah diingat tanpa elaborasi yang mendalam.
Gagasan Pemimpin
Di tengah arus
media-sentris itu, kita kekurangan kesempatan menelaah gagasan pemimpin secara
mendalam. Ruang-ruang publik yang didominasi logika media dan budaya instan
berpotensi melahirkan figur pemimpin penghibur yang membuat kita tertawa
sejenak meskipun masalah tetap menggunung.
Pemimpin penghibur
tidak mengajak penontonnya berkerut kening karena yang ditawarkan adalah
keceriaan sesaat—tanpa memikirkan bagaimana besok atau lusa. Pemimpin
penghibur tidak menawarkan masa depan karena yang penting baginya adalah hari
ini. Pemimpin penghibur juga kerap khawatir penontonnya berpaling mencari
tontonan lain yang lebih menghibur.
Mirip logika rating
dalam industri sinetron. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin penghibur atau
pemimpin sinetron. Kita sudah melewati sejumlah krisis dan kini tengah bersiap
untuk naik kelas dari negara skala menengah menjadi negara kuat dalam ukuran
ekonomi dan pengaruh geopolitik.
Kondisi itu akan
tercapai jika kita berhasil menuntaskan transisi demokrasi dan menghasilkan
negarabangsa yang kuat dan demokratis. Yang dibutuhkan adalah pemimpin penyala
harapan, bukan penyaji hiburan, bahwa hari esok yang lebih baik akan datang
jika kita mau bekerja keras, bukan dengan tertawatawa sejenak.
Peran penting
pemimpin adalah menciptakan “state of mind” atau situasi psikologis di dalam
masyarakatnya dengan cara melahirkan dan mengartikulasikan tujuan yang
menggerakkan orang dari kepentingan mereka sendiri menuju kepentingan bersama
yang lebih tinggi. (JW Gardner, 1988).Kita membutuhkan lebih banyak ruang lagi
untuk mendengarkan gagasan pemimpin untuk mendapat harapan, bukan hiburan.
http://www.anismatta.net/2014/06/21/harapan-atau-hiburan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar