By: Nandang Burhanudin
*****
Di tahun 1963, Ben
Gourion, PM Israel pertama menegaskan, "Tidak penting bagi kami memiliki
bom nuklir atau 200 hulu ledak nuklir. Semuanya sama sekali tak memberi manfaat
kepada kami. Justru yang terpenting adalah, bagaimana negara seperti Mesir,
Syiria, dan Irak berpihak dan menjadi penjamin eksistensi dan entitas
kami."
Maka jangan heran, apa yang terjadi
hari ini di negara-negara tersebut merupakan penjelmaan dari "sabda"
Ben Gourion. Mesir, Syiria, Irak dihancurkan. Malah 100 % menjadi
"Satpam" penjaga Israel. Maka krisis antara Saudi vs Yaman, tak
terlepas dari mengamankan sisi lain negara Israel, seiring dengan target Israel
Raya yang segera dideklarasikan.
Di titik ini, peran
Raja Salman bersama Erdogan dan Emir Qatar sangat diperlukan. Fungsinya menjaga
keseimbangan kawasan. Banyak yang berharap, Raja Salman mampu berperan seperti
Raja Faishal yaitu mengembalikan kembali tali "ukhuwwah Islamiyyah"
dan ikatan "al-jasad al-waahid" (satu tubuh) di kalangan umat Islam.
Nah, hal terberat
yang dihadapi Raja Salman adalah ketiadaan SDM yang mampu mengimplementasikan
"peran strategis" dalam bargaining position vs Israel (AS dan
sekutunya). Suka atau tidak suka, SDM yang siap menghadapi Israel di segala
medan adalah jamaah Ikhwanul Muslimin. Jamaah yang tegas mengatakan,
"Perjuangan Ikhwan tidak akan berakhir, hingga tak ada sejengkal tahan pun
milik Palestina yang dikuasai Israel."
Namun sekali lagi,
Israel dan AS telah merancang masa depan Timur Tengah. AS-Israel terlatih
mengatur bidak-bidak catur dan membaca arah pikiran lawan. Terbukti, saat
Mubarak dilengserkan 25 Januari 2011, sejak 2010 mereka telah memprediksi
Ikhwanul Muslimin akan muncul menjadi pemenang. Sejak itu, di Kedubes AS
dilakukan rapat rahasia merancang kudeta. Hal yang telah disampaikan intelejen
Turki kepada Presiden Mursi via Erdogan.
Sama halnya dengan
Saudi Arabia. Mendiang Raja Abdullah yang sakit-sakitan, dan penggantinya
adalah Raja Salman. Maka AS-Israel telah menyiapkan Syiah Houtsi di Selatan
Saudi, ISIS di utara Saudi, dan Syiah yang makin perkasa di Teluk Persia. Raja
Salman pun harus berhadapan dengan fakta, Mesir, Jordania dan negara-negara
Arab lainnya sudah diYahudikan.
Maka kesempatan
jangka pendek bagi Raja Salman adalah, mengubah peta kekuatan Timur Tengah:
menghindari sikap konfrontasi dengan AS, mengedepankan misi kemanusiaan,
menolak tindakan kezhaliman dalam hal apapun. Selain tentunya, memperkuat
kerjasama dengan Turki dan negara-negara G-20. Nampak perjuangan Raja Salman
sangat berat. Tapi itu tuntunan bagi siapapun yang mencita-citakan mati di
jalan Allah cita-cita tertinggi.
12 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar