KOTA GIGIH,
KOTA GAGAH
-tentang
Surabaya-
@salimafillah
Sultan belia
itu tahu bahwa yang akan dihadapinya adalah saudara sesama muslim, bahkan
saudara tua dari keturunan 'alim agung penyebar Islam di Jawa nan amat
dihormati; Sunan Ampel. Tapi pilihannya pelik. Persatuan kaum beriman se-Jawa
di bawah daulatnya adalah cita dan amanat leluhur yang akan diperjuangkannya
seberapapun harga yang harus dibayar.
Apalagi
Sultan ini tahu, kekuatan asing yang berseliweran di lautan Nusantara kian
mengancam seperti ketika VOC menjarah dan menembaki Pelabuhan Jepara. Bersatunya
Jawa di bawah satu kuasa adalah hajat mendesak.
Kota ini
dengan gagah menantang Mataram sejak masa pemerintahan kakeknya, dipimpin
penguasa pemberani bernama Pangeran Adipati Jayalengkara.
Prof. Merle
C. Ricklefs dalam 'Sejarah Indonesia Modern' menyebutkan bahwa Madura, Banjar,
dan Sukadana termasuk dalam wilayah kekuasaan Surabaya. Kitab ‘Sedjarah Dalem’
bahkan menyebut bahwa pengaruh Surabaya menjangkau daerah Jawa maupun luar Jawa
yaitu, Bang Wetan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Pulau Sulawesi bagian
tengah hingga selatan serta sebagian kepulauan Maluku bagian selatan.
Seorang duta
VOC, Artus Geijsel, menggambarkan bahwa lingkaran kota Surabaya berjejari 5
mil. Separuhnya dikelilingi benteng baluwarti kukuh dan setengahnya lagi
dibarikade dengan tanggul tanah yang tinggi. Parit lebar memisahkan tembok kota
dari dataran di luarnya. Di setiap jarak terjauh tembakan meriam dari bastion
terdapat satu benteng kecil berbentuk bujur sangkar, dengan setiap benteng
tersebut dilengkapi 10 hingga 12 meriam.
Kota ini
sangat gagah, dengan pemimpin dan rakyat amat gigih. Serbuan Panembahan
Senapati pada 1598-1600 berhasil dipukul mundur, penyerangan akbar oleh
Panembahan Hanyakrawati pada 1610-1613 juga dipatahkan.
Prof. HJ. De
Graaf dalam karya dahsyatnya, "De Regering van Sultan Agung, vorst Van
Mataram, 1613-1645 en Die van Zijn Voorganger Panembahan Seda Ing Krapyak
1601-1613" menggambarkan ikhtiyar sabar Sultan Agung dalam menundukkan
Surabaya. Tak seperti Ayah dan Kakeknya yang melakukan serbuan langsung namun
gagal, raja yang awalnya bergelar Panembahan Hanyakrakusuma ini jauh lebih
berhati-hati.
Alih-alih
langsung menikam jantung, Sultan Agung memilih melemahkan dahulu Surabaya
dengan 2 cara; menaklukkan wilayah-wilayah pendukungnya, dan merangkul simpati
para penguasa daerah lain serta rakyat kepadanya.
Maka pada
1614 Tumenggung Suratani diperintahkan mengambil alih Pasuruan. Upaya ini gagal
karena pasukan Pasuruan bertempur habis-habisan. Sembari mundur ke Winongan,
Tumenggung Alap-alap diperintahkan menguasai Lumajang, Renong, dan Kadipaten
Malang. Pangeran muda Panji Pulangjiwa gugur, sementara ayahandanya sang
bupati, Rangga Tohjiwa ditangkap dan dihadapkan pada Sultan Agung.
Seringkali
terjadi, para penguasa daerah semula mengira Raja Mataram hanya orang pedalaman
yang amat layak diremehkan. Tapi Sultan Agung ternyata berbeda. Wibawanya,
ilmunya, keshalihannya, dan perlakuannya yang penuh akhlaq pada yang menyerah
membuat banyak penguasa daerah akhirnya merunduk.
Pada 1615
giliran Wirasaba, wilayah yang kini bernama Jombang-Mojokerto takluk dan
bersetia, sebab Sultan Agung sendiri memimpin pasukan Mataram ke kadipaten ini
sebagai penghormatannya terhadap bekas ibukota Majapahit.
Pada
1616-1617 Lasem dan Pasuruan ikut pula tunduk. Menyusul jatuhnya Tuban pada
1619, kota yang dengan kayu jati dari Grobogan-Bojonegoro menjadi galangan
kapal bagi wilayah timur itu menjadikan Mataram mampu membangun angkatan laut
untuk mulai merangkul sekutu-sekutu Surabaya di seberang.
Maka
berturut-turut, pada 1622 Sukadana dan Banjar di Kalimantan menyatakan
kesetiaan pada Sang Sultan melalui Tumenggung Bahureksa yang menyeberang dengan
armada dari Kendal. Lalu Madura yang menjadi sekutu terdekat dan terkuat
Surabaya dan berulangkalimenggagalkan serbuan Mataram; mulai dari Sumenep,
Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan berbai'at pada Mataram di tahun 1624. Sejarah
mencatat bagaimana perempuan Madura membuat Sang Sultan takjub. Mereka turut
berperang dan sama lihainya dengan para lelaki dalam olah senjata. Mereka
berjaga di belakang, dan tiap melihat pasukan Madura lari mundur dengan luka di
tubuh bagian belakang, merekapun membunuh pengecut-pengecut itu.
Pangeran
Prasena yang menyerah lalu diangkat menjadi wakil Sang Sultan untuk seluruh Madura
bersatu dengan gelar Cakraningrat I. Di Sumatera, Palembang dan Jambi yang
semula adalah sekutu Surabaya akhirnya memutuskan bantuan, meski baru akan
bergabung menjadi vassal Mataram pada 1636.
Pada 1625,
setelah pengepungan panjang, keadaan Surabaya yang gagah lagi gigih itu telah
amat memprihatinkan. Suplai pangan putus, bantuan luar tak dapat lagi
diharapkan.
Tumenggung
Mangun Oneng yang diserahi tanggungjawab menaklukkan Surabaya ingin bergegas.
Maka diperintahkannya membendung Kali Mas, anak Sungai Andaka-Brantas dengan
batang kelapa dan bebatuan. Ketila aliran yang masuk kota telah amat berkurang,
dia memerintahkan untuk memasukkan bangkai binatang dan buah aren ke dalam
sungai itu. Air yang masuk kota menjadi
sedikit, berbau amat busuk, menimbulkan gatal-gatal, dan berpenyakit. Surabaya
guncang.
Tak kuat
menyaksikan rakyatnya menderita, Pangeran Adipati Jayalengkara akhirnya luluh.
Seribu prajurit berbendera putih dipimpin putranya, Pangeran Pekik keluar
ketika gerbang kota dibuka. Surabaya menyatakan menyerah. Sultan Agung dengan
penuh penghormatan menyambut ayah dan anak ini, bahkan Pangeran Pekik lalu
dinikahkan dengan adik sang raja Mataram yang tercantik; Ratu Pandansari.
Sultan Agung
tak salah memilih ipar. Kelak pasangan Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari akan
memberikan darmabakti yang luar biasa bagi Kesultanan. Orang gagah lagi gigih
dari Surabaya ini, sekali tersentuh hatinya akan menjadi saudara yang amat
setia.
"Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah dengan cara yang lebih baik,
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah
telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS.
Fushilat: 34-35)
Dalam masa
perjuangan kemerdekaan, kota ini lagi-lagi mengukirkan kegagahan dan
kegigihannya. Melalui Fatwa Resolusi Djihad oleh Hadhratusy Syaikh Hasyim
Asy'ari pada 22 Oktober 1945 yang dikukuhkan dalam Kongres Ummat Islam di
Yogyakarta, harian Kedaulatan Rakyat menurunkan tajuk, "60 Miljoen Kaoem
Moeslimin Siap Berdjihad Mempertahankan Kemerdekaan."
Para pemuda
Surabaya menjadi bintang-bintang syuhada' dalam peristiwa ini, berpuncak pada
peristiwa 10 November 1945. Brigadir Jenderal AWS Mallaby, panglima Divisi
ke-49 dan Brigadir Jenderal Guy Loder-Symonds tewas. Agar kita bangga; bahkan
di medan Eropa dan medan Pasifik, tidak ada cerita 2 jenderal sekutu sebegitu
cepat gugur dalam pertempuran seperti di Surabaya.
Nikmat besar
dari Allah bahwa di zaman ini kami berkesempatan sowan rutin mengenalkan
Rasulullah ﷺ melalui Majelis Jejak Nabi di beberapa
Masjid di Surabaya. Masjid kami di Jogokariyan juga mendapat kepercayaan untuk
bekerjasama dengan beberapa lembaga yang berbasis di Surabaya dalam
program-program pemberdayaan ummat. Semoga terwaris semangat juang seperti
persaudaraan Pangeran Pekik-Sultan Agung.
Oh iya, kota
para pahlawan ini ternyata juga menyumbang 2 dari 4 pemain utama untuk film
Ketika Mas Gagah Pergi dari anggitan Yunda Helvy Tiana Rosa. Adalah Hamas
Syahid Izzuddin yang berperan sebagai Gagah dan Izzati Ajrina sebagai Nadia
berasal dari kota ini, kota gigih, kota gagah.
Ah, sudahkah
Shalih(in+at) menyimak #kmgpthemovie? Mari turut mengapresiasi karya dakwah
sembari mendukung program pendidikan di Indonesia Timur dan Palestina. Kita
nantikan sambungannya dalam #kmgpthemovie 2 yang insyaallah hadir sebentar
lagi.😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar