KURANG
PIKNIK dan "AKU TAK TAHU"
@salimafillah
Kurang
piknik tak selalu tak baik. Seperti keagungan Imam Malik.
Dibanding
para Imam Ahlis Sunnah lainnya, barangkali beliaulah yang tersedikit melakukan
rihlah 'ilmiyah, mencukupkan diri dengan ilmu dan atsar dari guru-gurunya di
Madinah. Tapi justru karena kurang piknik, nyaris tak pernah keluar dari
Madinah sepanjang hidupnya selain untuk berhaji, beliaulah rujukan tepercaya
sebagai Imam Daril Hijrah.
Dikatakan
bahwa ilmu para sahabat Rasulillah ﷺ tersebar
pada 7 Tabi'in Fuqaha' Madinah; Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash Shiddiq,
Salim ibn 'Abdillah ibn 'Umar Al Faruq, 'Urwah ibn Zubair ibn Al 'Awwam, Abu
Salamah ibn 'Abdirrahman ibn 'Auf, Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit, Sulaiman ibn Yasar,
dan Sa'id ibn Al Musayyib. Dan ilmu ketujuh beliau nantinya berhimpun kembali
dalam diri Imam Malik.
Cintanya
pada bumi berkah di mana Rasulullah ﷺ
mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar ini amat dalam. Bahkan beliau mendasarkan
fiqihnya salah satunya dengan 'Perbuatan Penduduk Madinah'. Salah satu
konsekuensinya, hadits yang shahih dari sahabat Rasulillah namun tak diamalkan
penduduk Madinah dapat menjadi batal kehujjahannya di sisi beliau rahimahuLlah,
seperti dalam soal puasa 6 hari di Bulan Syawal semisal.
Tapi kita
mesti tahu, wibawa orang kurang piknik ini membuat para Khalifah merunduk.
Suatu ketika Harun Ar Rasyid mengundangnya untuk membacakan hadits-hadits
Rasulillah bagi dirinya dan putra-putranya. Jawaban sang Imam menghentak,
"Ilmu itu didatangi. Bukan mendatangi."
Maka Harun
Ar Rasyid beserta putranya hadir ke majelis beliau yang mulia, itupun dengan
diperingatkan, "Hendaknya duduk di manapun tempat tersedia, jangan lancang
melangkahi pundak orang-orang." Maka Imam Malik yang untuk membacakan
hadits Rasulillah ﷺ selalu memakai pakaian terbaik, bersurban
indah, berwangian harum, berada dalam keadaan wudhu', terlihat lebih megah
melebihi sang Khalifah.
Watak fiqih
atsari beliau yang tawadhu' juga terbentuk dari sini. Beliau mencukupkan diri
dengan riwayat lalu selebihnya berkata, "Aku tidak tahu", yang ucapan
ini disebutnya sepertiga ilmu. Seorang utusan dari Maroko pernah amat kecewa,
40 pertanyaan titipan diajukan tapi hanya 8 yang dijawab. "Tiga bulan
perjalanan kutempuh untuk menjumpaimu dengan pertanyaan dari kaumku",
ujarnya, "Apa yang nanti harus kukatakan pada mereka?"
"Katakan
saja", ujar Sang Imam penuh wibawa, "Bahwa Malik tidak tahu."
Hal menarik
terjadi ketika Imam Muhammad ibn Hasan Asy Syaibani, salah satu murid utama
Imam Abu Hanifah mengunjungi Imam Malik dengan tak dikenali. "Bagaimana
hukumnya", tanya Muhammad ibn Hasan, "Jika seorang lelaki yang sedang
junub mendengar adzan. Tapi dia tak menemukan air untuk mandi, sedangkan dia
tahu bahwa di dalam Masjid ada air."
"Orang
junub tidak boleh masuk Masjid", jawab Imam Malik.
"Tapi
dia mendengar adzan dan sudah seharusnya ikut shalat berjama'ah bukan?"
"Ya,
tapi dia tidak boleh masuk Masjid sebelum bersuci."
"Jadi
apa yang harus dia lakukan?", desak Imam Muhammad ibn Hasan.
"Aku
tidak tahu", jawab Imam Malik.
Imam
Muhammad ibn Hasan menghela nafas lalu berkata, "Seharusnya lelaki itu
bersuci dengan tayammum dulu untuk masuk Masjid. Lalu dia mengambil air dari
dalam Masjid kemudian keluar untuk mandi. Lalu masuk Masjid lagi untuk
shalat." Sang penanya ini lalu mohon diri.
"Siapakah
engkau ini?", tanya Imam Malik.
"Saya
'Abdullah, hamba Allah."
"Dan
dari manakah?"
"Asal
saya dari tanah", jawab Muhammad ibn Hasan lalu beranjak tanpa menoleh
lagi.
Seorang
murid yang sedari tadi memperhatikan bincang keduanya pun bertanya,
"Benarkah Anda tidak mengenal orang itu ya Imam?"
"Siapa
dia rupanya?"
"Dialah
Muhammad ibn Hasan Asy Syaibani yang termasyhur, sahabat Abu Hanifah."
"Celaka,
dia menipuku dengan mengatakan namanya 'Abdullah."
"Tapi
kan memang benar dia itu hamba Allah?"
"Aku
tetap tidak suka hal semacam itu."
Kisah ini
adalah salah satu penanda ketegangan yang sering terjadi antara Madrasah Ahlil
Atsar yang dipimpin Imam Malik dan para Ahli Hadits di Hijjaz dengan Madrasah
Ahlir Ra' yi yang berpusat di 'Iraq dalam generasi murid-murid Imam Abu Hanifah
seperti Al Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan.
Watak Fiqih
'Iraq yang karena sedikitnya hadits tersampai harus mengembangkan berbagai
kaidah penyimpulan hukum menghadapi persoalan masyarakat yang lebih rumit
menjadikan mereka terampil berlogika, berdebat, dan mendiskusikan berbagai
persoalan yang tak terbayangkan di Hijjaz. Dua madrasah yang sebenarnya saling
melengkapi ini, di kalangan para murid sering berolok satu sama lain.
Hingga
akhirnya datanglah Al Imam Asy Syafi'i, murid terhebat Imam Malik tapi sekaligus
juga murid terdahsyat Muhammad ibn Hasan Asy Syaibani. Pada beliau, kedua
madrasah berpadu menjadi Ilmu Fiqih yang kokoh dalilnya sekaligus kuat
metodologinya.
"Dulu
Ahli Hadits tertidur", simpul Imam Ahmad ibn Hanbal, "Hingga Imam Asy
Syafi'i datang membangunkan mereka; memahamkan mana umum mana khusus, mana
nasikh mana mansukh, serta mana yang mujmal dan mana yang memerinci."
Mari
senantiasa belajar dari mereka, terutama atas kalimat "Aku tak tahu."
Tiada aib atas ungkapan itu, sebab dengannya Allah lah yang kan jadi guru,
mengajarkan segala yang bermanfaat di dunia hingga akhir waktu.
Seperti Imam
Malik yang sering mengatakannya, suatu hari di musim dingin beliau berpeluh.
Maka bertanyalah Imam penduduk Mesir, Al Laits ibn Sa'd, "Apa yang
membuatmu berkeringat?"
"Abu
Hanifah", jawab Imam Malik. "Betapa pandainya orang itu." Lalu
ketika Al Laits menyampaikan pujian Malik ini pada Abu Hanifah, begini jawab
sang Imamul A'zham sembari mengambil nafas berat, "Malik, orang yang
mendapatkan bagian terbanyak dari warisan Rasulillah ﷺ."
Rahimahumullahu
ajma'in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar