Salim A. Fillah
SEMUA ADALAH MUSAFIR
-sebuah pengantar-
Syahdan, seorang musafir mengunjungi
rumah 'alim besar di suatu kota, yang dengan amat memesona baru saja
menyampaikan sebuah khuthbah Jumat nan tersimak dengan khusyu'.
Memasuki sebuah ruangan dalam
bangunan amat bersahaja, dia tak menemukan apapun di sana selain senyum yang
tulus, air yang sejuk, dan sajian siang yang dihulur lembut dalam wadah
bersahaja. Ketika mengedarkan mata, selain alas yang didudukinya, tak ada benda
lain yang lazim mengisi rumah. Kosong. Tapi terasa lapang. Melompong. Tapi tak
hampa.
"Wahai Syaikh",
tanyanya memberanikan diri, "Di manakah perabotan dan perkakas rumahtangga
Anda?"
Orang arif itu tersenyum.
"Ah iya. Nah, di mana pula perabotanmu, Anakku?"
"Saya ini kan seorang yang
hanya berkunjung", jawabnya heran atas pertanyaan.
"Sama anakku, heheh..
Sama", terkekeh Sang Syaikh. "Aku juga hanya pengunjung di dunia
ini."
Ada makna yang sungguh dalam pada
perbincangan ini. Seakan ia pengejawantahan sabda Rasulullah Shallallaahu
'Alaihi wa Sallam kepada Ibnu 'Umar Radhiyallaahu 'Anhuma yang direkam Imam Al
Bukhari. "Jadilah engkau di dunia bagai orang asing", ujar beliau,
"Atau musafir yang menyeberangi jalan."
Sayyidina 'Abdullah ibn 'Umar
menggarisbawahi dengan menyatakan, "Jika kau berada di waktu sore jangan
menunggu waktu pagi. Jika kau berada di waktu pagi jangan menunggu waktu
sore." Ini penekanan tentang waktu pulang yang rahasia, seringnya
tiba-tiba, dan panjang serta rumit perjalanannya di sebalik pintu bernama maut.
Barangkali setiap orang punya
kiat masing-masing untuk menjaga hakikat makna ini di dalam hati. Adalah Imam
Asy Syafi'i selalu berjalan dengan bertelekan tongkat meski usianya masih muda
dan tubuhnya masih perkasa. Beliau masyhur dapat menunggang kuda tanpa pelana
sembari memegangi kupingnya, dan jika membidikkan 10 anak panah, tak satupun
yang luput dari sasarannya.
Maka seseorang bertanya,
"Buat apa engkau bertongkat padahal umurmu masih belia dan badanmu pun
tampak kuat?"
"Untuk senantiasa
mengingatkan diri", ujar beliau sembari tersenyum, "Bahwa aku ini
hanya musafir yang mampir. Singgah untuk mengabdi saja, tidak tinggal
selamanya."
Perjalanan kita, ujungnya kelak
adalah sebuah pengadilan. Maka mereka yang cerdas dalam langkah-langkahnya akan
mempersedikit beban dan memperbanyak bekal, serta mengurangi para penggugat dan
menambah pembela hingga berlipat.
Adapun seisi bumi, sebagaimana
tangan dan kaki, akan bersaksi nanti ketika mulut dikunci. Bepergian di muka
bumi untuk memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
Allah; diperintahkanNya pada kita agar ruh terisi niat-niat bakti, akal
menginsyafi besarnya karunia, dan seluruh jasad tersengat semangat untuk
menebar manfaat. Lalu tiap butir pasir, tiap serpih debu, tiap hirup nafas,
tiap ayunan langkah, tiap pijak tapak, bahkan tiap gores luka terharapkan
menjadi pemberat timbangan kebajikan.
Sungguh Nabi melarang kita
memayahkan diri melaksanakan rihlah, kecuali tuk menuju Masjidil Haram, Masjid
beliau di Madinah nan bercahaya, serta Masjidil Aqsha di Palestina. Yang
terakhir ini bahkan difatwakan para 'ulama untuk ditunda sementara, sebab
kiblat pertama shalat kaum muslimin itu sedang dijajah oleh Zionis. Sebagaimana
dulu para sahabat baru berbondong ziarah ke sana sesudah ia dibebaskan dari
Romawi pada masa kekhalifahan 'Umar ibn Al Khaththab; adalah bijak menunda
hingga ia merdeka agar tak serupiahpun masuk ke kas negara penjajah yang
menurut Konstitusi kita "harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan."
Tapi tentang safar untuk berilmu,
berdakwah, dan jihad fi sabilillah, jelas bahwa ia pengecualian yang indah,
terlihat dari amat bersemangatnya para Salafush Shalih sejak generasi
Rasulullah beserta para sahabat, hingga pengikut mereka para Ahlus Sunnah.
Janganlah dulu menyebut pengembaraan Sa'd ibn Abi Waqqash atau Atha' ibn Abi
Rabah yang menyejarah, hingga Imam Ahmad atau Al Bukhari yang satu haditspun
diburu menyeberangi gurun dan samudera. Sekedar yang lebih mutakhir seperti Al
Hafizh Ibnu Mandah saja dikatakan mengembara sejak usia 20 hingga 65, memiliki
1700 guru dan puluhan ribu murid.
Yaa Rabbanaa, di manakah kita?
Tetapi demikianlah serakan
tulisan ini saya serahkan pada pembaca tetaplah demi memamerkan kebodohan diri;
agar yang bengkok diluruskan, yang salah dibetulkan, yang kurang dilengkapkan.
Juga agar semangat ini menyengat mereka yang jauh lebih berhak mengemban dakwah
dengan ilmu yang mumpuni dan ikhlas terjaga di hati.
Akhirnya, selamat berrihlah dalam
dakwah. Selamat melawat berburu hikmat. Sebab kita semua adalah musafir.
Karena perjalanan dakwah dengan
kejutan-kejutannya seringkali punya kisah ikutan yang melampaui kesimpulan.
Riwayat berikut barangkali dipertanyakan karena dipandang terlalu melebihkan
karamah sebagian insan yang dipandang sebagian ummat sebagai waliyyullah. Namun
sebagai kisah penutup bagi pengantar ini; yang hendak kita ambil adalah ruh
dakwahnya; prasangka baik dan merayu-rayu hati manusia ke jalanNya.
Adalah Imam Abu Yazid Al Busthami
suatu malam mimpi berjumpa Kanjeng Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam. Dalam
jumpa di mimpi benar itu beliau bersabda, "Besok engkau akan mengunjungi
sebuah kota. Sampaikan salam dariku pada si Fulan yang tinggal di kota
itu."
Benar, dengan semangat meluap Abu
Yazid mendatangi kota tersebut. Tetapi dia segera disergap ragu begitu
mendengar penjelasan orang-orang bahwa sosok yang padanya Rasulullah menitip
salam itu ternyata seorang yang selalu menghabiskan waktunya dari bakda 'Isya'
hingga jelang Shubuh di kedai khamr. Ah, barangkali mimpi itu keliru, pikirnya.
Maka dia menghabiskan waktunya dengan beri'tikaf di Masjid Jami'.
Tapi malam berikutnya Abu Yazid
kembali didatangi Nabi Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam. Bahkan kali ini beliau
menghardik, "Mengapa salamku belum kausampaikan?" Gemetarlah sang
Imam ketika bangun. Tapi pada siang itu begitu banyak orang yang meyakinkannya,
"Tuan Syaikh, sungguh tak patut orang mulia sepertimu mendatanginya di
tempat maksiat laknat. Dan sungguh kami tak mengenalnya kecuali sebagai
pelanggan kedai mabuk-mabukan itu."
Abu Yazid kembali menenggelamkan
diri beri'tikaf di Masjid. Dan malam itu di tengah tidurnya, Rasulullah
Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam mengancam, "Jika besok salamku tak
kausampaikan, kau takkan berjumpa denganku di akhirat." Keringat dingin
membanjiri tubuh Abu Yazid. "Sungguh celaka kalau sampai terhalang dari
jumpa Rasulullah", batinnya.
Malamnya, dengan menguat-nguatkan
tekad dan membetah-betahkan malu, dia mendatangi kedai arak itu. Pelayan kedai
menunjukkan tempat Si Fulan duduk, orang itu tampak sedang bersenda-gurau
dengan sekumpulan biang-tuak yang kelihatan sudah mabuk berat semua!
Abu Yazid tertegun. Baru saja dia
membalikkan badan hendak keluar kedai, terdengar ada yang memanggil namanya,
“Hai Abu Yazid!”
Ia kaget sekali, ternyata yang
memanggilnya adalah Si Fulan! Dari mana orang itu tahu namanya?
Fulan mengajaknya duduk dan
memperkenalkannya dengan teman-teman minumnya. Setelah sejurus meramah-tamahi
kumpulan pemabuk itu, Abu Yazid diajak menyingkir sedikit untuk bicara
bisik-bisik berdua.
“Kamu bawa kiriman buatku ya?”
Fulan menagih.
Abu Yazid mengangguk.
“Salam dari Kanjeng Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh…”
“‘Alaika wa ‘alaihissalaam
warahmatullaahi wabarakaatuh”, mata Fulan berkaca-kaca.
“Begini”, Fulan melanjutkan tanpa
peduli pandangan mata Abu Yazid yang penuh tanda tanya, bagaimana bisa
Rasulullah mengirim salam untuk pelanggan pusat maksiat ini, “Sudah lama sekali
aku tiap hari nongkrong disini… Kaulihat orang-orang mabuk itu?”
Abu Yazid melirik mereka dan
mengangguk. Fulan menepuk-nepuk bahunya.
“Kelompok mereka itu tadinya ada
sekitar 40 orang. Sekarang tinggal delapan. Nah, salam dari Kanjeng Nabi ini
penanda tugasku berdakwah di sini sudah selesai. Yang tersisa itu bagianmu,
kuamanahkan padamu.”
Fulan pergi meninggalkan Abu
Yazid bersama sekumpulan orang teler yang menjadi jatah dakwahnya.
Laa haula wa laa quwwata illaa
billaah.
Bumi Allah, 20 Februari 2016
Salim A. Fillah
Hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, relawan yang terbatasi kedhai'fannya. Semoga Allah merahmati, memberkahi, dan meridhai si faqir ini.
NB: InsyaaLlah kita jumpakan
bedah bukunya di Teras Dakwah, besok Rabu 13 April 2016 ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar