JALAN ILMU
JALAN CAHAYA
@salimafillah
“Duhai
saudaraku, takkan pernah kau mampu meraih ilmu”, demikian salah satu syair yang
dinisbatkan berasal dari Imam Asy Syafi’i, “Kecuali dengan enam yang harus
terlaku. Akan kusampaikan padamu dengan penjelasan. Ialah kecerdasan, semangat,
kesungguhan, pengorbanan, membersamai guru, dan panjangnya waktu.”
Tentang
kecerdasan, tentu yang beliau maksudkan seperti syair yang terkutip di awal
bahasan. Dosa adalah pengganggu daya fahaman. Dan taqwa adalah kunci ketajaman
akal.
“Di antara
seagung jalan meraih ilmu”, demikian dia sampaikan di lain kesempatan, “Adalah
taqwa pada Allah.Sebagaimana Dia ‘Azza wa Jalla telah berfirman dalam Surah Al
Baqarah ayat 282, ‘Wattaqullah wa yu’allimukumullah.. Dan bertaqwalah kepada
Allah, dan Allah akan mengajarkan ilmu kepada kalian.”
Lima perkara
berikutnya yang beliau sampaikan tersuling dari pengalaman yang menempa sejak
keyatimannya. Dari ketekunannya mempelajari bahasa ‘Arab murni dan syair-syair
sastrawi di tengah Suku Hudzail hingga perjumpaannya dengan Khalid ibn Muslim
Az Zanji. Dari catatan ilmunya pada pelepah, pecahan tembikar, juga tulang dan
kulit, hingga perjalanannya ke Madinah untuk berguru pada Malik. Dari
majelisnya bersama Sufyan ibn ‘Uyainah di Makkah hingga debat-debat ilmiahnya
dengan Muhammad ibn Hasan Asy Syaibani, murid Abu Hanifah. Dari penugasannya
sebagai qadhi di Yaman, hingga fitnah menimpa yang mempertemukannya pada Harun
Ar Rasyid. Dari majelisnya yang penuh sesak di Baghdad hingga madrasahnya yang
teratur di Kairo. Dari lapar yang ditahan-tahan dalam belajar hingga 40.000
dinar yang habis dia bagikan sebelum sampai rumah. Dari wudhu’ ‘Isya’nya yang
bertahan sampai Shubuh demi merenungkan satu hadits untuk menyusun ratusan
istinbath hukum, hingga sakit wasirnya yang mengucurkan darah bagai mata air.
Jalan cahaya
yang ditempuh Asy Syafi’i dan segala tempahan yang dia alami di dalamnya amat
sangat kaya; berlapis-lapis,bertumpuk-tumpuk, berliku-liku.
Dan Ahmad
ibn Hanbal, melangkah di jalan cahaya yang sama, dengan bias-bias pelangi yang
tak kalah warna-warni. Alkisah, satu hari di Baghdad, Ahmad mengungkapkan pada
Asy Syafi'i harapannya untuk bisa bersafar lagi ke Yaman demi mencatat
hadits-hadits dari Imam 'Abdur Razaq.
Adalah
beliau dulu pernah melakukannya pada suatu musim haji bersama Yahya ibn Ma'in.
Kala itu, di Makkah sebenarnya mereka telah bertemu 'Abdur Razaq yang juga
sedang menjadi tamu Allah. Maka berkatalah Yahya, "Alhamdulillah, kita tak
perlu jauh-jauh ke Shan’a. Penulis kitab Al Mushannaf sedang berada di sini.
Kita minta saja beliau mengimlakkan haditsnya pada kita."
"Demi
Allah”, sahut Imam Ahmad, “Ilmu yang berkah tidak diperoleh dengan cara seperti
ini. Aku akan menanti. Baru kemudian akan kususul beliau ke Shan'a seusai
beliau menuntaskan haji."
Dengan bekal
menipis, sekembalinya ‘Abdur Razaq barulah Ahmad sendirian berangkat menuju
Yaman. Bagi beliau, kurang Adab jika mendahului atau membersamai sang Imam.
Di Shan'a,
untuk menafkahi kebutuhannya, Ahmad bekerja serabutan pada siang harinya.
Barulah malamnya dia dapat bermajelis menyimak hadits. Imam 'Abdur Razaq yang
tahu keutamaan dan ketekunan Ahmad belajar hadits, segera berupaya untuk
membantu. Tapi aneka pemberian beliau ditolak dengan penuh hormat oleh Ahmad.
"Bukankah
Malik juga membiayai murid-muridnya?", tegur sang guru.
"Sungguh
menyimak ilmumu lebih aku sukai daripada dunia seisinya", sahut Ahmad
tersenyum.
Pada kali
yang kedua ini, dapat dirasakan oleh Imam Asy Syafi'i, tampaknya Ahmad
menghadapi masalah yang sama. Yakni biaya. Sudah sering dia buncahkan
keinginannya, namun belum juga dia berangkat ke Shan’a.
Imam Asy
Syafi’i sangat ingin membantu. Namun harta bukanlah sesuatu yang selalu
tersanding di sisinya. Maka dengan kedudukannya yang mulia di sisi Harun Ar
Rasyid, beliau menulis surat agar Ahmad diangkat sebagai Qadhi di
Yaman.Sebagaimana kita tahu, di masa mudanya, Imam Asy Syafi'i juga pernah
menjadi Qadhi Yaman. Pada masa itu, keadilan dan kecerdasannya menyelesaikan
berbagai sengketa pidana maupun perdata masyhu r hingga ke berbagai pelosok.
Keberhasilan itu, selainkan mendatangkan banyak sahabat, sekaligus pula
menumbuhkan dengki pada beberapa hati yang keji.
Ia pada
akhirnya berujung fitnah yang menyebutkan bahwa Asy Syafi’i terlibat dalam
rencana pemberontakan bersama orang-orang Rafidhah. Tuduhan jahat ini membuat
Asy Syafi'i ditangkap dan digelandang paksa. Dia berjalan kaki dalam belenggu
berat dari Shan'a hingga ke Baghdad untuk dihukum di hadapan Harun Ar Rasyid.
Sepuluh orang yang didakwa bersamanya kesemuanya dipenggal di depan sang
Khalifah.
Dengan pertolongan
Allah dan karunia ilmu yang ada pada dirinya, Asy Syafi’i, sang terpidana
kesebelas selamat. Bahkan Ar Rasyid mendudukkannya di singgasana untuk
mendengar ilmunya dan menangis menyimak nasehatnya. Fitnah di Yaman yang
membawanya ke Baghdad, membuat Asy Syafi’i memasuki babak baru yang
menjulangkan namanya.
Kali ini,
dalam suratnya pada Ar Rasyid, Asy Syafi'i meminta agar Ahmad dijamin aman
dalam jabatannya dan diberi kebebasan untuk mengundurkan diri kapanpun dia
kehendaki. Ini dilakukan Asy Syafi'i demi membantu supaya Ahmad bisa terbiayai
ke Shan'a, berjumpa 'Abdur Razaq, sekaligus mengamalkan ilmunya di tengah
ummat, agar fiqhnya kian terasah.
Begitu Ahmad
tahu tentang surat ini, dengan wajah masam didatanginya Imam Asy Syafi'i,
"Abu 'Abdullah, demi Allah andai bukan engkau yang melakukannya, pasti aku
bersumpah untuk tak lagi menemui penulis surat ini selamanya. Demi Allah, aku
tidak mau ke Yaman dengan cara semacam ini.
"Maka
Imam Asy Syafi'i pun memohon maaf dan memeluk murid yang dibanggakan dan
disayanginya ini. Kelak, ketika beliau pindah ke Mesir, beliau berujar dalam
syair, “Kami meninggalkan Baghdad. Dan di sana tidak ada yang lebih ‘alim,
lebih faqih, lebih wara’, dan lebih zuhud daripada Ahmad.”
Dari mereka
kita merunduk malu menyimak jalan ilmu. Ada ketekunan, ada Adab, ada perhatian,
ada pertolongan, ada rasa hormat, ada kehati-hatian, dan ada saling pengertian.
Semoga Allah menyayangi mereka dan kita. Semoga Allah rasukkan keteladanan
keduanya dalam jiwa, dan mengumpulkan kita dengan keduanya kelak di surga.
Belajar
sepanjang hayat dari buaian hingga liang lahat adalah jalan cahaya. Dan jalan
itu, satu langkah yang diayunkan dalam kefardhuan ilmu adalah penggugur dosa,
pengangkat martabat, dan pembuka jalan ke surga.
Gambar: Usai
menyimak pembacaan dan pensyarahan Al Jami'ush Shahih karya Imam Al Bukhari
oleh Abuya Sayyid Ahmad ibn Muhammad 'Alawy Al Maliki di Rusaifah; para
mahasantri menyajikan qahwa dan 'ajwah.
MasyaaLlaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar