TERIMA APA
ADANYA
@salimafillah
Di antara
begitu banyak taujih Rabbani kepada Rasulullah ﷺ, ada sebuah
ayat pendek yang menurut Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran menghimpun
akhlaq-akhlaq asasi yang harus dimiliki oleh para da’i dalam menghela bahtera
dakwahnya di gelapnya lautan fitnah.
"Jadilah
engkau pemaaf dan perintahkan kepada yang ma'ruf, serta berpalinglah daripada
orang-orang yang jahil." (QS Al A'raf: 199)
Fakhruddin
Ar Razi dalam Tafsirnya mengutip Imam Ja’far Ash Shadiq yang mengatakan tentang
firman Allah ini, “Tidak ada ayat-ayat Al Quran tentang makarimal akhlaq yang
lebih luas maknanya daripada ayat ini.”
Dalam
pembahasan balaghah, ayat ini sering dijadikan contoh yang sempurna untuk ijaz
qishar.
“Ijaz
adalah”, demikian menurut penulis Kitab Al Balaghatul Wadhihah, ‘Ali Al Jarim
dan Musthafa Amin, “Mengumpulkan makna yang banyak lagi berlapis-lapis dalam
kata-kata yang sedikit dengan jelas dan fasih.”
Ada dua
jenis ijaz yakni qishar dan hadzf. Qishar maknanya peringkasan lafazh.
Kalimatnya utuh namun pendek dengan tiap bagiannya mengandung makna yang
berlipat dan bertingkat-tingkat. Adapun hadzf adalah membuang sebagian kata
atau kalimat dengan syarat ada qoriinah yang menunjukan bahwa lafazh yang
dibuang tersebut hakikatnya ada.
Di antara
mufassirin, yang amat teliti menunjukkan betapa paripurnanya ijaz qishar di
dalam Surat Al A’raaf ayat ke-199 ini adalah Al ‘Allamah ‘Abdurrahman ibn
Nashir As Sa’di, Guru Syaikh Al 'Utsaimin dalam karyanya Taisirul Karimir
Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan.
Maka bagian
pertama ayat ini “Khudzil ‘Afwa”, mencakup makna “Terimalah kaummu apa adanya,
maklumilah kekurangan-kekurangan mereka, maafkan kesalahan-kesalahannya, jangan
bicara pada mereka dengan apa yang belum mereka fahami, dan jangan bebani
mereka dengan apa yang belum mereka sanggupi.
”Menerima
kaumnya apa adanya adalah dengan tak berbanyak-banyak mengeluhkan keadaan,
namun tetap melihat kondisi itu sebagai suatu kenyataan yang mungkin untuk
diubah. Ianya bahkan diikuti upaya untuk memetakan secara cermat segala
kekuatan dan kelemahan serta peluang dan tantangan. Rasulullah ﷺ memperhatikan
dengan cermat siapakah yang terlebih dahulu mungkin untuk diajak kepada Tauhid
beserta faktor-faktor yang akan memudahkan sampainya dakwah, dan beliau pula
mengenali siapa-siapa yang berpotensi menjadi penentang dakwah.
Rasulullah ﷺ pun
memaklumi kekurangan para sahabat dengan menjadikan segala ketaksempurnaan itu
sebagai hal yang harus dikelola dengan baik dalam menata barisan dakwah, atau
bahkan jika mungkin mensinergikannya menjadi kekuatan. Demikian pula beliau
memaklumi kekurangan-kekurangan musuh, yang hal ini sangat membantu beliau
untuk merumuskan strategi tabligh.
Beliau juga
ditaujih untuk memaafkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dari kaumnya bersebab
kurangnya ilmu, dangkalnya pemahaman, dan sedikitnya pengalaman. Bersama
berjalannya waktu, dengan tarbiyah yang baik, kesalahan-kesalahan itu akan
menjadi pengalaman yang amat berharga untuk dipetik pelajarannya.
Rasulullah ﷺ juga
memulai dakwahnya dengan perkara-perkara yang dimengerti oleh kaumnya. Wahyu
pertama yang turun bahkan terlebih dahulu menyebut “Rabb” sebagaimana difahami
bangsa Arab dan tak langsung mengenalkan Allah sebagai satu-satunya “Ilah”.
Beliau juga memulainya dengan hal yang mampu dikerjakan oleh para sahabat;
menyambung kekerabatan, berbuat baik kepada tetangga, para faqir, dan yatim,
lalu mengimani Allah dan hari kemudian yang di sana segala perbuatan akan
dipertanggungjawabkan.
Ketikapun
mereka sudah memahami bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan bagi mereka,
tiada sekutu bagiNya; berhala-berhala kaum ‘Arab yang tegak kukuh di sekitar
Ka’bah bukan langsung dihancurkan sebab perubahan jiwa jauh lebih penting dari
perubahan lahiriah.
Barulah di
tahun ke-21 dari dakwah beliau, setelah hati penduduk Makkah diinsyafkan,
patung-patung itu dihancurkan bahkan oleh tangan-tangan yang semula memujanya.
Adapun
bagian kedua dari ayat yang sungguh jawami’ul kalim, ringkas namun padat maknanya
ini, “Wa’mur bil ‘Urfi”, meliputi arti “Jadilah engkau Imam dalam
perkara-perkara yang kebaikannya telah dikenal oleh akal sehat manusia, agar
engkau dapat memimpin mereka menuju kebaikan yang hanya dari Allah-lah tata
aturannya.
”Secara
garis besar, kebajikan dibagi menjadi dua menurut asal timbangannya. Pertama,
Al ‘Urf atau Al Ma’ruf adalah kebajikan yang seluruh akal sehat manusia
mengenal dan mengakui bahwa ia adalah baik. Jujur, adil, amanah, tepat janji,
disiplin, dermawan, tawadhu’, tekun, menghormati yang tua, menyayangi yang
muda, menyantuni para faqir, merawat anak yatim, dan sebagainya adalah Al
Ma’ruf.
Yang kedua
adalah Al Khair, yang di sana mencakup segala kebaikan yang ditetapkan oleh
Allah sebagai bagian khusus dari pengabdian kepadaNya. Bersaksi bahwa tiada
sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, menunaikan shalat, zakat, puasa,
serta haji sesuai dengan syarat, rukun, wajib, sunnah-sunnahnya serta mengenal
pembatalnya adalah bagian dari Al Khair.
Kedua hal
ini diisyaratkan oleh firman Allah berikut.“Dan hendaklah ada segolongan di
antara kalian, satu kumpulan manusia yang mengajak kepada hal-hal yang baik
(khair), memerintahkan kepada yang ma’ruf, serta mencegah dari perbuatan
munkar. Dan yang demikian itu adalah golongan yang akan beruntung.” (QS Ali
‘Imran [3]: 104)
Dalam ayat
ini, arahan Allah tentang “Al Khair” adalah agar diserukan, dianjurkan,
dihimbaukan, diajakkan. Sebab ukurannya dari sisi Allah, dakwah kepadanya
haruslah bertahap dan berderajat-derajat.
Memaksakan bagian
“Al Khair” yang mahdhah ini hanya akan menyuburkan kemunafikan. Adapun “Al
Ma’ruf” dapatlah diperintahkan, diundangkan, bahkan diatur dan dipaksakan agar
pelaksanaannya maksimal. Mereka yang melanggar kejujuran, keadilan,
kedisiplinan, serta hak-hak kaum membutuhkan dapat pula dipidanakan.
Adalah
Rasulullah ﷺ orang yang paling dikenal kepeloporannya
dalam kebajikan-kebajikan yang ma’ruf di antara kaumnya, sehingga dengan begitu
pula beliaulah orang yang paling layak untuk mengajak manusia pada hal-hal yang
khair sifatnya; mengesakan Allah, mendirikan shalat, menunaikan puasa, haji,
dan lainnya.
Sedang
bagian ketiga, “Wa A’ridh ‘anil Jahilin”, mengandung pengertian “Diamkanlah
mereka, ucapkanlah “Salaamaa” jika mereka mengajak berbicara, berlalulah dari
mereka dengan cara yang mulia, balaslah perbuatan buruk mereka dengan yang
lebih baik.
”Ya Allah,
susurkan dan susulkan kami di jalan dakwah beliau ﷺ. Gambar
Kota Makkah jelang fajar, dari atas Gua Hira dan Jabal Nur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar