By: Nandang Burhanudin
*****
Kehormatan Islam, syiar, ibadah, dan umatnya diinjak-injak. Lantas ada kelompok yang “sok lapang dada”, menasihati kita agar menjadi pemaaf dan menerima garis takdir. Di satu sisi, mereka menolak nasihat kita untuk tidak Golput saat pemilu, minimal meminimalisir mudharat dibanding yang terpilih Islamphobia.
Memang, Islam mengajarkan kita menjadi pemaaf. Ayat, hadis, dan teladan di medan maaf-memaafkan, lapang dada, sangat banyak. Tapi kita menapikan, Rasul dan para sahabatnya serta Salafus Shalih, pun diperintahkan Allah untuk melawan, memerangi, bahkan berhenti memaafkan. Terlebih di hadapan penguasa zhalim, pendusta, nista, dan perusak agama.
Hal ini pun Allah firmankan dalam banyak ayat. Di antaranya firman Allah,
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim mereka membela diri.”
Al-intishar menurut Ibn Rajab Al-Hambali adalah “Menunjukkan kemampuan untuk membalas kezhaliman, walau setelah itu memberi maaf sebagai bentuk kesempurnaan jiwa.”
Menurut An-Nakh’i, “Membela diri karena didorong spirit, tidak ingin dihinakan dan diperlakukan semena-mena.”
Mujahid pun menafsirkan, “Sosok mukmin pasti berontak jika dilecehkan. Ia terdorong untuk menunjukkan dirinya mampu melawan.” (Jami’ Al-‘Uluum wal Hukm, hlm. 179)
Jadi, MELAWAN! Soal nanti memaafkan, itu urusan lain. Tapi tunjukkan efek jera kepada musuh-musuh Islam. Bahkan Syaikh Shalih Al-Munjid, dalam Al-Islam Sual wal-Jawab mengungkapkan, memaafkan itu memiliki syarat. Di antaranya, setelah memaafkan terjadi ISHLAH (perbaikan sikap) dan tidak memunculkan dampak negatif yang baru.
Beliau menegaskan,
قال تعالى : (فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ) فلا يعفو عن مجرم معروف بالشر وإيقاع الضرر بالناس ، لما يترتب على العفو عنه من إطلاق يديه في الشر والسوء ، لذا لا يشرع العفو عنه ، بل تجب عقوبته وكف يده عن الناس بما يُستطاع
Firman Allah, “Barangsiapa memaafkan dan berishlah, maka pahalanya di sisi Allah.” Maka tidak boleh memaafkan kepada sosok mujrim (lacut, bengis) yang sudah dikenal keburukan dan perilaku mudaratnya terhadap manusia. Karena memberi maaf kepada sosok demikian, sama dengan memberi kebebasan bagi kedua tangannya untuk bertindak buruk dan busuk. Oleh karena itu, memaafkan tidak disyariatkan. Malah wajib diberikan hukuman setimpal, agar tangannya sebisa mungkin tidak lagi membahayakan manusia. (sumber: www.islamqa.com)
Demikian fatwa Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-‘Utsamin. Fatwa Imam Ibnu Taimiyyah pun tidak jauh beda. (lihat: Jami’ Al-Masail, vol. 6/38)
Siapa yang merugikan umat Islam? Di Jakarta ada AHOK. Jokowi pun sama. Di Mesir ada Assisi. Di Syiria ada Assad. Di Bangladesh pun sama. Khusus Indonesia. Muhammadiyah tidak boleh memaafkan pembunuh Siyono. MUI sepatutnya menghukum baju salib di acara sahur TVRI. AHOK harus dihukum karena mulut busuk dan korupsinya. KPK pun harus segera disomasi. Bahkan media sekelas Kompas, Trans TV, harus dibangkrutkan.
Demikian hukuman untuk Tjahyo Kumolo, Lukman Saifudin, Luhut Binsar. Lalu kita gandeng penjaga Sapta Marga, TNI untuk menjadi penengah. Yakinlah, momentum penghapusan 3000 lebih Perda yang disebut intoleran, menjadi titik tolak persatuan umat. Jika pemimpin, tokoh umat, alim ulama, ketua parpolnya memiliki keberanian. Jika tidak. Wassalam.
RUMAH BUKU IQBAL : Pusat Buku Bermutu