Hamid Fahmi
Zarkasyi
Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai
Barat
Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali di sela-sela sebuah seminar
di Gontor, tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong
kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu
itu bersama beliau langsung menimpali, “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi
tidak tahu di mana tidak Islamnya ilmu (sains) itu.”
Pak Mukti dengan antusias, menyahut, “Masa iya, bagaimana itu?”
“Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan
Tuhan,” jawab Baiquni. “Jadi ia menjadi sekuler dan anti-Tuhan.” Pak Mukti
dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi, “Oh begitu”.
Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik
menarik.
Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya
Tuhan? Pernyataan Prof. Baiquni sejalan dengan apa kata R.Hooykaas dalam Religion and
The Rise of Modern Science.
Di Barat, dunia dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak datangnya
Copernicus hingga Newton, bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara
pandang ini pada abad ke-17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka,
pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada
atheisme (kekafiran).
Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi, dan
Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan,
gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang
menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini
berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. Artinya masih
ada peran Tuhan di situ. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi
kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen
hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh di sana dan tidak
terjangkau. Sementara alam berada di sini dan tidak selalu di bawah pengawasan
Tuhan.
Menggambarkan dunia sebagai mekanisme, berarti melihatnya sebagai
mesin. Bagi yang atheis, mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang theis,
mesin itu diciptakan. Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan
akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan, namun kini bebas dari Penciptanya.
Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil, seorang penulis Perancis, pada
tahun 1599 menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaan-Nya, yaitu
dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja
berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia.
Faham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran
Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi
subur. Otoritas memahami dunia, kini berpindah dari gereja ke tangan saintis.
Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley , Boyle, Huygens, dan Newton yang konon
membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Kesombongan pemikir Yunani
ditiru, dan jargonnya “Man is the standard of everything” dinyanyikan ulang. Benar-salah,
baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan akal atau diganti
dengan akal.
Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan
menghukum Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para
saintis seperti tidak mau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa
dibuktikan secara empiris, bukan sains”. Teologi tidak bisa masuk dalam sains.
Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon
sangat empiristis, “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan
tidak ada kesamaannya.” Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti
agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.
Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak
dan kekuasaan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaan-Nya.
Descartes berpikiran sama, kehendak Tuhan tak dapat dipahami sehingga
menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “Kita tidak perlu takut melawan wahyu
Tuhan dan melarang meneliti alam ini,” katanya. Sebab tidak ada larangan dalam
wahyu. Tuhan memberi manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa
seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis
bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengkaitkan teologi dengan
epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya
dimonopoli oleh empirisisme rasional.
Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum beranjak
dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazali. Namun karena Ibn Rusyd terlanjur
lebih populer di kalangan gereja dengan Averoismenya, pikiran al-Ghazali tidak
dianggap. E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas sekali menyalahkan Ibn
Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya, ia dianggap telah menabur benih
sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume, dan pemikir Barat lainnya.
Tuhan tetap disembah dan diyakini wujud-Nya, tapi tidak ditemukan hubungannya
dengan pikiran, ilmu atau sains.
Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai
Barat. Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya
dibatasi pada Being yang
temporal dan human being menjadi
sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal
dualisme ilmu dan sistem pendidikan muslim. Nasr mengkritisi, mengapa jejak
Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan
menyesali, seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang
merusak itu tak pernah terjadi.
Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun
mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan
artinya dibebaskan, diserahdirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari faham sekular
yang ada dalam pikiran muslim. Khususnya dalam penafsiran-penafsiran
fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din,
manusia (insan), ilmu (ilm dan ma’rifah), keadilan (‘adl), konsep amal
yang benar (amal sebagai adab), dan sebagainya. Jika Thomas Kuhn tegas bahwa
ilmu itu sarat nilai, dan paradigma keilmuan harus diubah berdasarkan worldview masing-masing saintis. Bagi
santri yang cerdas, tentu akan bergumam, la siyyama
Muslim.
Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam,
pesawat terbang Islam, dan sebagainya? This is
silly question, kata
al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-alim, dan
bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula
teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya. Jika paradigma dan worldview-nya telah berserah diri pada
Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi
bisa serasi dengan maqasid syariah dan bukan dengan nafsu manusia.
Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah
alam semesta, dan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah), yakni Al-Qur’an,
meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan
muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah.
Hasilnya adalah ilmun-nafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah
cahaya yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.
Pasted Form: Kolom “Worldviews” www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar