By: Nandang Burhanudin
Dua negara Islam dengan penduduk mayoritas muslim dan
asset SDA yang berlimpah. Kini dikuasai anggota ordo-ordo freemaonsry,
illuminati, rotary, atau lions club internasional. Kedua penguasa yang hampir
bersamaan, melakukan operasi-operasi "tutup mulut" atau penumpulan
gerakan oposisi, baik dari militer, birokrasi, elemen buruh, mahasiswa, hingga
masyarakat umum.
Operasi penumpulan tersebut dilakukan dengan beberapa
cara:
Pertama: Mengikat birokrat dan aparat
dengan "peningkatan kesejahteraan".
Di saat rakyat kedua negara dihantui kenaikan harga
kebutuhan sembako, BBM, gas, air minum, TDL, As-Sisi dan Jokowi sama-sama
melakukan gerakan de vide et impera. Menindas rakyat yang dulu memilih Jokowi
atau memberikan mandat kepada As-Sisi. Di sisi lain meningkatkan taraf hidup
birokrat dan aparat berkali-kali lipat. Fungsinya jelas, menutup celah
pembangkangan. Terutama dari institusi militer, kepolisian, kehakiman,
kejaksaan, birokrat PNS. Institusi yang selama ini dikenal sebagai "abdi
pemerintah".
Kedua: Memecah belah oposisi.
Bila As-Sisi berusaha keras memecah belah Ikhwanul
Muslimin dari dalam. Maka Jokowi dan rezimnya berusaha memecah belah partai
politik yang memiliki perwakilan di Parlemen. Tercatat, As-Sisi memanggil
secara rahasia 3 mantan anggota Ikhwanul Muslimin dalam sebuah pertemuan
tertutup dan superrahasia. Ketiga nama tersebut adalah: Mukhtar Nuh, Kamal
Halbawi, dan Tsarwat Al-Kharbawi.
Dalam hal keberhasilan, Jokowi lebih sukses dibandingkan rezim As-Sisi. Jokowi sukses memecah belah PPP, Golkar, bahkan PAN. Jokowi sukses pula memecah Polri dan mengangkangi semua insitusi hukum dari partai pengikut setianya.
Ketiga: Berbagai sedikit "kemanjaan"
dan fasilitas.
Benih-benih perlawanan dari oposisi idealis, sedikit
demi sedikit dimatikan. Wartawan, penulis, pengamat, mahasiswa, pendidik yang
diprediksi "kritis" dan rajin menebar kritikan dan membuka bobrok
ketidakmampuan dalam mengurus negara. Maka mereka diberi jatah sedikit
kemanjaan.
Di Mesir, aktivis gerakan 6 April, pengagas gerakan
Tamarrud, dan beberapa aktivis Islam yang anti-Mursi diberi jatah kemanjaan dan
fasilitas "wah". Sedangkan di Indonesia, cukup dengan
"jamuan" makan siang atau makan malam. Ternyata, strategi ini sangat
jitu mematikan perlawanan dan rencana aksi turun ke jalan.
Keempat: Memunculkan
"bulsit-bulsit" yang dapat mengaburkan fokus masyarakat.
Penimbul situasi (bulsit) adalah istilah intelejen.
Bulsit ini tujuannya, memalingkan atau mengaburkan fokus masyarakat dari kasus
yang sebenarnya terjadi. Rakyat tidak sadar, bahwa isu ISIS, penenggelaman
kapal, kisruh KPK vs Polri, hingga isu-isu picisan, adalah cara strategis untuk
memupus jejak perampokan harta rakyat, asset negara, dan penyerahan SDA kepada
Asing dan Aseng yang notabenen donatur kudeta di Mesir dan donatur kampanye
Jokowi.
As-Sisi dan Jokowi, menjadi taruhan dan pion penting dalam
proses penghancuran tatanan kenegaraan dan kebangsaan di Mesir dan Indonesia.
Para pendukung As-Sisi dan Jokowi, sebenarnya paham betul, As-Sisi tidak
memiliki kemampuan memimpin. Namun mereka tak ada pilihan, sebab kebencian
terhadap Ikhwan dan proyek "reformasinya" sangat mengkhawatirkan.
Anda boleh setuju boleh tidak. Di alam demokrasi, siapapun boleh memiliki
pandangan apapun. Faktanya, Mesir dan Indonesia memang di ambang kehancuran!
17
April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar