KH
Rahmat Abdullah
Pada suatu hari lewatlah
seseorang di depan Rasulullah SAW. Beliau bertanya kepada seseorang
disampingnya: "Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?" Orang itu menjawab: "Ia lelaki golongan terhormat.
Demi ALLAH, seandainya meminang pastilah diterima dan bila memberi pembelaan
pasti dikabulkan". Lalu Rasulullah SAW
berdiam. Kemudian melintaslah seseorang. Rasulullah bertanya kepada orang yang
disampingnya tadi: "Bagaimana pandanganmu tentang orang ini?" Ia
menjawab: "Ia muslim yang faqir. Bila meminang pantas ditolak, bila
memberi pembelaan takkan didengar pembelaannya dan bila berbicara takkan
didengar ucapannya". Rasulullah SAW bersabda : "Sepenuh bumi ia lebih
baik daripada orang tadi (yang pertama)" (HSR Muslim).
Ketika
Da’wah ini muncul dan eksis dalam waktu yang sangat singkat, ia telah menyata-kan
jatidirinya dengan jelas. Ia adalah kemenangan bagi siapa saja yang mau berjuang,
tidak peduli anak siapa dan berapa
kekayaan bapaknya. Ia tidak peduli penolakan Bani Israil paska nabi Musa AS
ketika nabi mereka menyatakan bahwa Thalut yang miskin telah dipilih ALLAH
untuk menjadi pemimpin mereka(QS.2:247).
Ia tidak juga meman-jakan ‘kesombongan intelektualisme’ kaum nabi Nuh AS yang
mencap Nuh hanya diikuti oleh ‘orang-orang rendah, yang dangkal fikiran’
(aradziluna. badia’r ra’yi, tidak kritis, (QS. 11:27). Bahkan ia pun tak sungkansungkan menegur keras nabinya
karena ‘logika prioritas’ yang dibangunnya menyebabkan Abdullah bin Ummi Maktum
‘nyaris tertinggal’. Alqur-an menyebutkan "Ia telah bermasam muka dan
berpaling, ketika datang kepadanya hamba yang buta……" (QS. 80:1-2).
Siapa
yang tak kenal keutamaan keempat khalifah dan beberapa tokoh legendaris di ka-langan
para sahabat? Namun, carilah dimana nama mereka terpampang dan bukan hanya
sifat, selain Zaid, RA (QS.33:37) ?
‘Kelas’ inilah yang diakui sebagai kekuatan yang dengan mereka "kalian
diberi rezki dan dimenangkan". (HSR
Bukhari)
Pungguk
Mengaku Duduki Bulan Demi kepentingan mereka, bahkan Dzulqarnain mengoreksi
salah kaprah yang merugikan mereka sendiri. "… mereka berkata: "Wahai
Dzulqarnain, maukah Engkau kami beri upeti, agar mau membangunkan tembok
(benteng) yang dapat melindungi kami dari (serangan) mereka?" Ia menjawab;
"Kedudukan yang ALLAH telah berikan kepadaku itu lebih baik. Cukuplah
kalian membantuku dengan kekuatan, aku bangunkan benteng yang kuat, memisahkan
antara kamu dan mereka" (QS.18:94-95).
Tanpa
pembinaan dan penataan yang benar kelas ini akan menjadi kekuatan destruktif yang
dikendalikan tangan-tangan berdarah. Dendam kemiskinan kerap membuat orang
melahap fatamorgana. Mereka melahap tuduhan bahwa masyarakat tak peduli kepada
derita mereka, lalu menyambut lambaian para penipu yang akan menunggangi mereka.
Kalau para kader hanya mencemooh dari jauh kelicikan para tengkulak yang memperdagangkan kemiskinan dan melahap
begitu banyak hak masyarakat miskin, tetaplah roda kemenangan berpihak kepada
angkara murka.
Banyak
orang kaya baru (OKB) berlomba-lomba memamerkan kekayaan mereka dan po-litisi
dari partai-partai baru yang mencaci-maki partai tiran dan korup sebelumnya. Tetapi
ajaib, mereka menjadi begitu norak, kemaruk dan lebih ‘ndeso’ dari para pendahulu..
Orang kaya merambat tak perlu waktu adaptasi. Orang kaya mendadak benar-benar
perlu belajar membawa diri. Tetapi orang kaya turunan dan orang kaya mendadak
sama-sama perlu memahami dan mengingat kembali kemiskinan, betapa pun pahit.
Kader
yang menyikapi jabatan yang diterimanya lebih sebagai amanah dari pada kehormatan,
akan dengan cepat belajar menyesuaikan diri dan memahahami karakteristik tugas
dan tantangannya. Bawahan yang lebih pandai, diakuinya dan didorongnya untuk
cepat menggapai posisi yang lebih sesuai. Mereka berendah hati, karena memang
tak takut jatuh dengan merendah. Sebaliknya mereka yang bagaikan senior
perpeloncoan yang kerap bermasalah dalam IP mereka, sering menampakkan gejala
ketakutan ‘disaingi’.
Perasaan
berkasta tinggi. Melecehkan orang yang mereka anggap berkasta lebih rendah.
Menelikung siapa saja yang di luar koneksi. Mengkoptasi semua demi keharuman
citra diri. Memecahkan masalah dengan menyalahkan orang lain. Melapor segalanya
beres tanpa ada yang dibereskan.
Hal
paling berat bagi kader yang berorientasi kekuasaan atau dunia ialah usaha
untuk mendengarkan dan memahami. Mereka lebih suka didengar, difahami dan
dimaklumi. Tak ada kemajuan dalam prestasi kecuali seni membuat-buat alasan.
Karena otak tak bekerja kerap, mereka
lebih suka menggunakan lutut. Muncullah kader-kader ‘gagah’ dengan mengimitasi
tampilan serdadu, bukan meningkatkan etos, disiplin dan kehormatan jundi
sejati. "Army Look" adalah kebanggaan mereka yang ingin diterima tanpa
harus mengajukan dalil, yang penting orang takut dan nurut.
Kader
Sejati Pepatah lama menyadarkan kita betapa pentingnya mendengar. "Ta’allam
husna’l Istima’ kama tata’allam husna’l Hadits" (Belajarlah cakap mendengar
sebagaimana engkau be-lajar untuk pandai bercakap).
Para
‘penjaja’ Fasad telah begitu lihai menggeser cita-rasa masyarakat. Mereka membentuk
identitas ABG dengan segala asesori termasuk bahasa. Mereka bentuk mental
attitude-nya sendiri dan bahasa gaulnya sendiri. Seluruh sasaran bahasa adalah penjungkirbalikan
kemapanan. Dan agama adalah bagian yang dianggap kemapanan. Bahasa fasad lebih
fasih dari pada bahasa Islah. Ada bahasa gaul untuk remaja, ada bahasa gaul
untuk tua-bangka dan ada bahasa gaul untuk preman, morfinis dan kriminal
lainnya.
"’Ala
Man Taqra’ Zabura ?!" (Kepada siapa Anda Bacakan Zabur?), adalah sindiran tajam
bagi da’i yang asyik menyusun kata dan menikmatinya sendiri, tanpa peduli apakah
komunikannya dapat mengerti. Dalam pertarungan memperebutkan pendukung, ada
kekuatan berhasil meyakinkan calon pendukungnya dengan idiom-idiom tipuan yang
memukau rakyat. Ada yang dengan jujur meneriakkan visi dan misi mereka, tetapi
tidak cukup sampai ke telinga batin mereka.
Banyak
kondisi menipu (Zhuruf Muzayyafah), yang kerap membuahkan kekecewaan. Sesudah
iman, ikhlas dan pengenalan konsep serta medan, kemampuan transformasi fikrah
dan menangkap gejolak arus bawah mutlak perlu dipertajam. Pesan-pesan penyampaian
dengan berbagai pendekatan, patut dibiasakan; 1. Khathibu’n Nas ala Qadri
uqulihim (Serulah masyarakat sesuai dengan kadar akal mereka), 2. Khathibu’n Nas
bilughati qaumihim (Serulah masyarakat dengan bahasa kaum mereka), 3. Anzilu’n
Nas manazilahum (Dudukkan masyarakat menurut kedudukan mereka). Karena da’wah
bukanlah obral candu, perlu diuji ulang, cukup tajamkah telinga ini men-dengar
krucuk perut yang hanya berisi angin. Cukup sensitifkah mata memandang seorang
akh yang membisu dalam kelaparannya yang sangat dan isterinya yang gemetar
menanti rizki yang datang dengan sabar. Masihkah ada waktu muhasabah sebelum
tidur, menyusuri wajah demi wajah, adakah yang belum tersantuni. Atau menelisik
kader yang hanya diberi sanksi, tanpa seorang pun tahu, tiga hari ini ia tak
punya tenaga karena sama sekali tak dapat makanan.
Ini
mozaik kehidupan kita yang harus ditata menjadi serasi dan harmoni. Malang nasib
dia yang mati rasa, nyinyir menyindir kesengsaraan saudara sebagai buah kemalasan,
seraya menghabiskan bertalam-talam makanan yang tak dapat lagi memenuhi rongga
perutnya. Bagaimana ia dapat memahami gelombang besar rakyat jelata yang bagai
singa terluka, menanti kapan saatnya menerkam dengan penuh murka.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar