Majalah
Tarbawi Edisi 233 Th. 12 Sya’ban 1431 H,
29 Juli 2010 M
Teks memang sudah
dimudahkan. Para pewaris nabi juga sudah menjelaskan dan menafsirkannya. Para
pembaharu dibangkitkan dari waktu ke waktu untuk memperbaharui memori,
pemahaman dan juga komitmen. Tapi persoalan kita dengan teks tidak selesai
hanya dengan itu semua.
Proses pembelajaran melalui teks bukan merupakan rangkaian perburuan pada
makna-makna yang rumit. Seperti misalnya para arkeolog ketika mereka
menerjemahkan sebuah naskah kuno. Atau seperti pergumulan para filosof untuk
menemukan makna dari sebuah rangkaian kata yang gelap. Ini bukan sekedar
pergumulan intelektual.
Teks yang sudah dimudahkan ini adalah narasi dari sebuah sistem kehidupan.
Ia adalah content dari ruang dan
waktu manusia. Hanya ketika content itu diintegrasikan ke dalam kerangka ruang dan
waktu di mana manusia menjadi pelaku maka sebuah wajah kehidupan akan muncul
kepermukaan. Jadi pergumulan dengan teks tidak boleh berhenti sekadar pada mengetahui
makna, tapi harus berlanjut pada
pada merasakan makna di dalam jiwa dan melalui tindakan. Dengan begitu
pergumulan dengan teks seharusnya melalui tiga tahapan itu: mengetahui,
merasakan dan melakukan. Dua tahapan yang pertama, yaitu mengetahui dan
merasakan, menghasilkan pengetahuan tentang kebenaran dari sebuah teks.
Ia membuat kita sadar, lalu yakin, lalu tercerahkan. Tapi tahapan ketiga, yaitu
melakukan, menghasilkan pengalaman. Yang terakhir ini menyatukan teks
dengan raga kita, dan bukan hanya dengan jiwa. Dari situ makna bukan hanya
terpatri di dalam jiwa, tapi bahkan mengalir dalam darah. Menyatu dengan teks
dengan cara begitu akan membuat pengetahuan kita terkuatkan dengan pengalaman.
Dan itulah fungsi dari pengalaman: membuat pengetahuan menjadi solid.
Menyatu dengan teks adalah pencapaian tertinggi dari seluruh proses
pembelajaran kita dengan teks. Tapi justru itu bisa dicapai ketika kita
mendekati teks dengan cara yang sederhana: datanglah kepada teks denga
pikiran dan jiwa yang kosong, lalu bertanyalah: apa yang saya lakukan dalam
hidup? Maka jawaban kita pasti sama dengan jawaban Umar bin Khattab ketika
beliau ditanya tentang mengapa baru di akhir hanyatnya beliau menghapal
Al-Qur’an. Katanya: “karena baru saya melaksanakan semua isinya.”
Itulah yang menginspirasi Sayyid Quthub ketika beliau menulis Fii Zhilalil
Qur’an. Bahwa sikap jiwa kita kepada teks seharusnya begitu: menerima untuk
melaksanakan (at talaqqi lit tanfidz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar