oleh Salim A. Fillah dalam
Rajutan Makna. 13/10/2012
Salman Al Farisi memang
sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita
mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan
sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat.
Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang
suci.
Tapi bagaimanapun, ia
merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah
tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang
belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu
menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang
akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka
disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan
dengannya, Abud Darda’.
”Subhanallaah.. wal
hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan
berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat
itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita
yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’,
dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya
dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia
memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa
Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang
untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”,
fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi
kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia.
Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat
Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada
puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang
puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas
keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara
mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan
mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman.
Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri
kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan
yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada
pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga
mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan,
di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan
sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia
memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia
bicara.
”Allahu Akbar!”, seru
Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada
Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak mudah menjadi lelaki
sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah
menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’.
Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar
dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah.
Bagaimanakah kiranya?
Ijinkan saya mengenang
seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al
Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau
menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang yang
benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,
Shidqun Niyah
Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.
Shidqul ‘Azm
Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
Shidqul Iltizam
Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
Shidqul ‘Amaal
Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.
Nah, mari coba kita
refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan.
Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan
caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu
semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran,
maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita
jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥
Apa kiat sederhana untuk
menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya:
memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan
biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang
insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka
yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia
meraihnya dalam kerangka ridha Allah.
Maka jika kau ingin tahu, inilah
persiapan-persiapan itu:
Persiapan Ruhiyah
(Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.
Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah
(Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.
Persiapan Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
Persiapan Maaliyah
(Material)
Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, & kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.
Maka memulai per nikahan,
BUKAN soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal
kompetensi & kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai
pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain
dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri
sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan
upah segenggam kurma.
Maka sesudah kompetensi
& kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman
menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah
proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah & executable. JANGAN masukkan
pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.
Kemapanan itu tidak abadi.
Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang
maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut
penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan
yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung
dan meningkatkan angka harapan hidup.
Persiapan Ijtima’iyyah
(Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.
Nah, ini semua adalah
persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti.
Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah?
Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya
adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah
menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai
persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?
Ya. Memang harus ada
parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di
dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.
“Wahai sekalian pemuda,
barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah,
karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan
farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu
benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Hanya ada satu parameter saja.
Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi
menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis,
kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah
al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh
penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni
kemampuan jima’.
Maka, kita dapati generasi
awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak
mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis
Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja.
Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah
menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath
Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur
Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah
banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.
Nah. Selesai sudah.
Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah
kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk
menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin
menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah
mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain.
Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi?
Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:
“Ada tiga golongan yang
wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi
dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian
dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi,
An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Pernah di sebuha milis,
saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan
lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu
rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti
sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari
jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas,
gengsi, dan ma’shiat.
Kata ‘Umar ibn Al
Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya
dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah,
kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi
rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum
menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.
Tapi begitu menikah, anda
mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat,
tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang
bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri
yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang
bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,
“Maka aku katakan kepada
mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)
Pernah membayangkan punya
perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan
segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali
lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya
proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur,
syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah!
Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat
relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.
“Mengapa kamu tidak percaya
akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)
Begitulah. Selamat
menyambut kawan sejati, sepenuh cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar