KA'BAH YANG
"SALAH"
@salimafillah
Banjir parah
di Makkah itu terjadi sekira lima tahun sebelum bi'tsah & turunnya wahyu
pertama.
Dinding-dinding
Ka'bah yang dibangun Ibrahim dan Isma'il 'Alaihimassalaam di atas pondasi
aslinya turut rubuh. Al Walid ibn Al Mughirah, pemimpin Bani Makhzum memimpin
pembangunan kembali rumah suci itu dengan meminta Quraisy menyumbangkan hanya
harta halal mereka.
Tetapi
tipu-tipu, riba, penjualan barang haram, judi, & melacurkan budak menjadi
bahagian besar pendapatan para pemuka. Maka betapa sedikit harta halal yang
dapat mereka kumpulkan.
Akibatnya,
menjadi jauh lebih kecillah Ka'bah yang dapat mereka bangun dibanding aslinya.
Hijir Isma'il yang semula berkedudukan di dalam menjadi ada di luarnya. Bahkan
nyaris pertumpahan darah terjadi saat Hajar Aswad hendak dipasang kembali,
andai saja Al Amin ﷺ tidak menjadi pengadil yang ditaati.
Pintunya pun lalu ditinggikan, dan tetua Quraisy mengatur siapa yang boleh
masuk dan siapa yang tidak.
Lebih dari
seperempat abad setelah itu, sembari bersandar mesra di pangkuan Ibunda kita
'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullah ﷺ
menyampaikan isi hatinya sebagaimana dicatat oleh Imam Muslim.
“Kalaulah
bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kesyirikan, niscaya aku perintahkan
untuk membongkar dan meratakan Ka’bah, serta membangunnya kembali di atas
asasan yang dibina Ibrahim 'Alaihissalaam. Kemudian pintunya aku buat menjadi
sejajar dengan tanah setelah dulu kaummu meninggikannya dan membatasi sesiapa
yang boleh masuk ke dalamnya. Dan aku akan membuat dua pintu baginya; pintu
sebelah timur dan pintu sebelah barat. Lalu akan aku tambahkan untuk Ka'bah
dari Hijir Isma'il sebanyak 6 hasta, karena sesungguhnya mereka menguranginya
di saat membangunnya.”
Wasiat
Rasulullah ﷺ ini disampaikan 'Aisyah kepada para
muridnya, termasuk putra saudarinya Asma' yang amat beliau sayangi, 'Abdullah
ibn Az Zubair Radhiyallaahu 'Anhuma. Lelaki pemberani putra Hawari Rasulillah
dan Dzatun Nithaqain ini kelak dibai'at menjadi Khalifah di Makkah sepeninggal
Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, karena penunjukan Yazid di Syam beliau anggap tidak
sah dan tidak layak.
Sementara
Yazid lalu digantikan Mu'awiyah ibn Yazid dan kemudian Marwan ibn Al Hakam
memerintah dari Damaskus; daerah Hijjaz, Yaman, dan sebagian 'Iraq tetap setia
pada 'Abdullah ibn Az Zubair. Dan salah satu hal yang beliau lakukan sebagai
Khalifah adalah merombak Ka'bah sesuai hadits Ibunda kita 'Aisyah. Maka Ka'bah
kembali ke bentuk balok raksasa, bukan lagi kubus besar.
Roda sejarah
berputar. 'Abdul Malik ibn Marwan yang memerintah di Damaskus menginginkan
persatuan kembali kaum muslimin di bawah satu khalifah. Pilihannya pahit
memang; menyingkirkan 'Abdullah ibn Az Zubair. Dan dari 'Iraq, gubernur Al
Hajjaj ibn Yusuf Ats Tsaqafi menyanggupi tugas itu dengan bersemangat. Dengan
gegap gempita pasukannya mengepung Masjidil Haram. Manjaniq-manjaniqnya
melontarkan batu-batu besar yang lagi-lagi merubuhkan Ka'bah. 'Abdullah ibn Az
Zubair gugur syahid, menggenapi sekira 120.000 lainnya korban Al Hajjaj yang
dalam mimpi 'Umar ibn 'Abdil 'Aziz semua diizinkan mengqishashnya di akhirat.
Al Hajjaj
tak sudi membangun kembali Ka'bah yang seperti buatan 'Abdullah ibn Az Zubair.
Meski dikatakan berulangkali bahwa itu wasiat Rasulullah ﷺ, dia
membangunnya justru seperti buatan Quraisy pimpinan Al Walid ibn Al Mughirah.
Roda sejarah
berputar lagi. Khalifah Harun Ar Rasyid dari Daulah 'Abbasiyah menghadap Imam
Malik. "Bagaimana pendapatmu Ya Imam", ujarnya, "Sekiranya
kubangun kembali Ka'bah sesuai binaan Ibrahim, sesuai wasiat Rasulillah ﷺ, dan sesuai
bangunan paman kami 'Abdullah ibn Az Zubair?"
Imam Malik
menjawab dengan berat, "Jangan lakukan itu Ya Amiral Mukminin."
"Mengapa?"
"Aku
khawatir setelahmu nanti datang penguasa lain yang membencimu, lalu dia
robohkan Ka'bahmu dan bangun lagi berbeda, lalu datang lagi yang lain dan
begitu seterusnya. Aku takut Baitullah ini akan menjadi permainan para
penguasa."
"Jadi?"
"Biarkanlah
ia seperti ini. Agar tidak makin berkurang atau hilang wibawanya di dalam hati
manusia."
Fatwa Imam
Malik ditaati oleh Harun Ar Rasyid. Maka jadilah Ka'bah itu seperti hari ini,
yang dibangun Al Hajjaj sesuai bangunan Al Walid ibn Mughirah, bukan di atas
asasan Ibrahim dan tak sesuai cita-cita Rasulillah ﷺ. Ia
dibiarkan "salah" demi mencegah hal yang lebih buruk: menjadinya ia
mainan para penguasa. Dan demi hajat yang lebih besar: menjaga wibawanya di
hati manusia.
Hingga kini,
fatwa Imam Malik berdasar "saddudz dzar'iah" atau 'menutup pintu
kerusakan' ini diterima sebagai ijma' kaum muslimin. Tak ada yang
mempersoalkannya kecuali sebagai catatan saja. Tak ada pula yang sampai hati
menyebut beliau "menyelisihi sunnah".
Inilah
keluwesan Fiqh itu. Ada yang lebih besar dari soal "tepat" atau
"tidak tepat". Ada 'illat yang mesti dipertimbangkan dalam tiap
penetapan hukum. Ada rasa-rasa yang harus dijaga di dalam dada manusia meski
ada nash yang "terlanggar".
Ini
barangkali hujjah sebagian saudara kita muslimin yang tetap memeluk tradisi
'amaliyahnya, yang mereka harap kita berkenan memahami lalu berlapang dada.
Bagi mereka, jika soal seakbar Ka'bah, rumah Allah & kiblat muslimin
sedunia saja ditoleransi, yang lebih ringan dari itu tentunya mendapat tempat.
Dan bagi kita, bersatunya ummat dengan sama-sama menggenggam tali Allah adalah
salah satu hajat agung.
Ah, iya, ini
tak kalah penting. Ada hikmah tambahan yang amat indah bagi kita dari fatwa
Imam Malik ini. Yakni, kita dapat shalat di dalam Ka'bah tanpa perlu
memasukinya. Ya, undangan Raja untuk masuk ke Ka'bah sangat terbatas. Maka
shalatlah kita di dalam lengkung Hijir Isma'il; itulah bagian dalam dari Ka'bah
yang terbuka. Terbuka bagi semua.
Semoga
Shalih(in+at) semua dilimpahi rizqi menjadi tamuNya.😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar