BERAGAMA:
TAAT dan ADAB
@salimafillah
Dari yang
kita amati dan rasakan, ada 2 pendekatan besar yang dilakukan ummat ini dalam
menghayati Diin-nya. Yang pertama taat, yang kedua adab.
Ada saudara
kita yang amat kokoh berpijak pada taat, sehingga segala sesuatu dari
Rasulullah ﷺ terimalah demikian adanya, 'amalkanlah dan
tak usah merepotkan diri dengan menambahinya berdasar duga-duga. Misalnya, jika
lafazh shalawat yang beliau ajarkan adalah "Allahumma shalli 'ala
Muhammad", bacaan demikian pulalah yang paling utama.
Bagi kita,
ini sebuah sikap yang selamat dan harus dipandang sepenuh hormat.
Tetapi ada
pula saudara kita yang merasa bertatakrama lebih patut didahulukan dibanding
sekedar taat. Maka dengan bersemangat, mereka akan menambahkan misalnya
"Allahumma shalli 'ala Habibika wa Nabiyyika, Sayyidina wa Maulana wa
Syafi'ina wa Qurrati A'yunina Muhammad."
Tak ada
perbedaan pendapat tentang kebolehan menambahkan predikat yang layak bagi Nabi ﷺ dalam
shalawat di luar bacaan shalat, kecuali soal mana yang lebih afdhal. Yang
dibicarakan kemudian yakni apakah tambahan "Sayyidina" dalam tasyahud
diperkenankan.
Hari-hari
ini, ada yang meruncingkan kembali perbedaan "taat" dan
"adab" ini melampaui ikhtilaf sesuai proporsi. Padahal masyaallah,
kita dapat menyimak bagaimana para sahabat membersamai Rasulullah ﷺ dengan
keduanya.
Madinah di
hari-hari itu sendu, karena purnamanya telah beberapa waktu tak terbit ke
Masjid.
Shubuh itu,
Sayyidina Abu Bakr Ash Shiddiq seperti telah diperintahkan sebelumnya maju
mengimami kaum muslimin. Ketika shalat hendak dimulai, adalah Sayyidina ‘Abbas
dan Sayyidina ‘Ali memapah sosok yang diringkihkan demam itu. Maka tetiba
sergapan kebahagiaan menyusup ke dada semua orang dan mencerah-cahayai wajah
mereka. Inilah Rasulullah ﷺ. Inilah Rasulullah kembali hadir di
tengah-tengah mereka.
Menyadari
junjungannya bergabung dalam barisan di shaff pertama meski sembari duduk, Abu
Bakr memundurkan diri. Tapi Nabi mendorong kembali Abu Bakr untuk maju
mengimami. Mentaati dorongan Rasulullah ﷺ, Abu Bakr
maju sejenak sejauh tolakan tangan Sang Nabi. Tapi setarik nafas kemudian Ash
Shiddiq mundur lagi. Demikian berulang hingga tiga kali.
Akhirnya Abu
Bakr berundur lalu duduk di sebelah kanan Sang Nabi ﷺ, kemudian
diberinya isyarat agar semua yang hadir shalat turut duduk. Demikianlah mereka
memahami, sebab Sang Nabi yang akan mengimami shalat dalam keadaan duduk,
merekapun bersembahyang dengan cara duduk.
Selesailah
shalat itu dan Nabipun menanyai Ash Shiddiq. “Ya Aba Bakr”, sabda beliau
sembari tersenyum meski wajah agungnya tampak pucat, “Telah kuperintahkan agar
kau tetap menjadi imam, mengapa engkau mundur?”
“Ya
Rasulallah”, jawab Abu Bakr sembari menunduk dengan bulir bening di matanya,
“Lebih baik tanah di depanku terbelah lalu aku jatuh ke dalamnya, kemudian bumi
menutup dan menghimpitku hingga binasa, daripada aku harus menjadi imam,
sementara ada Baginda di belakangku.”
Andai dia
tetap menjadi imampun, Abu Bakr sama sekali tidak bersalah. Dia akan ternilai
sebagai orang yang mentaati Rasulullah ﷺ, satu
ketaatan yang sebenarnya tak dapat ditawar sebab ia gambaran ketaatan kepada
Allah. Namun Ash Shiddiq memilih adab.
Maka adab,
terkadang adalah wujud paling indah dari buah akhlaq yang manis, harum, dan
lembut di pohon iman yang berakar kokoh dalam hati. Maka kita mendapatinya pada
Ash Shiddiq, seorang yang oleh Rasulullah ﷺ
dipersaksikan, “Andai iman seluruh manusia diletakkan pada satu anak timbangan,
sedang iman Abu Bakr ditaruh pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakr lebih
berat.”
Dengan cinta
di hati ahlinya, adab kadang juga "keterlaluan". Adalah Malik ibn
Sinan, ayahanda Abu Sa'id Al Khudzri melihat bahwa luka di pelipis Rasulullah
yang tertusuk cincin rantai pada Perang Uhud masih mengucurkan darah dengan
deras, padahal Abu 'Ubaidah ibn Al Jarrah sudah terpatah-patah giginya untuk
mencabut keling besi itu. Maka segera dihisapnya kuat-kuat bagian luka hingga
tampak belulang Rasulullah yang putih. Tiap kali mencucup darah Sang Nabi ﷺ, Malik
menelannya.
"Muntahkan
darah itu!", per intah Nabi ﷺ.
"Demi
Allah tidak ya Rasulallah."
"Muntahkanlah!"
"Takkan
pernah Ya Rasulallah!", tolaknya sambil berkaca-kaca.
Malik ibn
Sinan "membangkang" pada junjungannya, sebab sungguh karena cinta
pada beliau. Maka dengarlah sabda Rasulullah ﷺ seperti
dikisahkan Ath Thabarani, Ibn Ishaq, Al Qadhi 'Iyadh, dan lainnya, yang membuat
Malik ambruk bahagia, "Jika kalian ingin melihat salah seorang lelaki ahli
surga, inilah orangnya!"
Tetapi, mari
kita catat ini; setelah melewati batas tertentu, adab memang akan sangat
merepotkan.
Di mimbar
Masjid Nabawi yang terataknya berundak tiga, dulu Rasulullah ﷺ berdiri di
tingkat teratas setiap kali beliau berkhuthbah. Ketika Sang Nabi wafat, Abu
Bakr Radhiyallahu ‘Anh dengan adabnya yang tinggi tak berani berdiri di tempat
kekasihnya itu dahulu bertegak. Beliau turun ke undakan kedua. Demikian pula ketika Ash Shiddiq
wafat, ‘Umar ibn Al Khaththab merasa tak pantas setingkat dengan Abu Bakr. Maka
Al Faruq turun satu teratak lagi, beliau berkhuthbah di undakan pertama.
Mari
bayangkan apa yang akan terjadi jika semua pengganti merasa tak patut berdiri
sederajat dengan pendahulunya? Niscaya kian ke zaman kita, Khathib di Masjid
Nabawi harus menggali berdepa-depa ke bawah demi menyesuaikan diri.
Adab yang
para manusia agung ini contohkan, berpeluang menyusahkan.
Maka inilah
Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan begitu menerima bai’at kaum muslimin untuk menjadi
pengganti Khalifah ‘Umar sesudah kesyahidan Al Faruq di mihrab, beliau
menggenggam tongkatnya dan menuju mimbar. Ketika sampai di depan teratak,
beliau berhenti sejenak kemudian bergumam dengan suara lirih yang dapat
didengar sebagian hadirin. “Sungguh perkara ini akan berkepanjangan”, ujarnya.
Lalu dengan memantapkan hati sang Dzun Nurain mendaki mimbar hingga ke puncak
tertinggi. Dengan gemetar dia berdiri di tempat yang dahulu Rasulullah ﷺ bertegak di
sana. Lalu diapun berkhuthbah.
Semoga Allah
meridhai dan merahmati mereka semua; yang meneladankan pada kita adab &
taat pada tempatnya, dengan hati yang selalu berpadu dalam agamaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar