Adian Husaini
Wawancara
Ulil Abshar Abdalah dengan Jalaludin Rachmat berjudul “Kafir itu Label Moral,
bukan Aqidah”, mengatakan, istilah "kafir" sudah tidak relevan. Baca
Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-24
Kamis (25 September 2003)
banyak berita menarik yang muncul berbagai website media massa. Hampir semua
media menampilkan berita tentang kerusuhan di Sumbawa Besar yang menewaskan
satu orang dan mencederai 11 lainnya. Koran Berbahasa Inggris The Jakarta Post
masih memuat poling calon presiden oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan
Denny JA, yang mengunggulkan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
calon presiden RI 2004-2009. Dari Israel muncul berita menarik: 9 orang pilot
Israel terancam dipecat karena menolak menembaki penduduk sipil Palestina.
Berita pembangkangan pilot Israel ini juga dimuat oleh situs Harian Republika
dan juga Islamonline.net.
Berita tentang pilot
Israel ini cukup menarik. Koran Haaretz, melaporkan peristiwa ini cukup detail.
Pekan lalu, 27 mantan pilot Israel membuat pernyataan menolak melakukan aksi di
wilayah Palestina. Dari 27 orang itu, 9 pilot masih aktif di AU Israel. Ke-9
orang itulah yang kini diskors dan terancam dipecat, jika mereka menolak
mencabut pernyataan yang telah mereka sebarluaskan ke media massa. Para pilot
Israel itu menyatakan, serangan udara di wilayah Palestina merupakan tindakan
illegal dan amoral. Di antara pilot pembangkang itu adalah Brigadir Jenderal (Purn)
Yiftah Spector, komandan squadron dalam Perang tahun 1973.
Mereka menyatakan, mereka
akan menolak terlibat dalam serangan udara terhadap penduduk Palestina di
wilayah itu. “We, both veteran and active pilots, who have served and who still
serve the state of Israel, are opposed to carrying out illegal and immoral
orders to attack, of the type Israel carries out in the territories,” begitu
pernyataan mereka. Berita-berita seperti ini segera menarik media
internasional, karena merupakan perlawanan dari dalam tubuh zionis Israel
sendiri.
Berita-berita itu dari
sudut jurnalistik memang menarik – dalam arti, mudah menarik minat pembaca
untuk mengikutinya. Namun, disamping berita-berita seputar perkembangan sosial,
politik dalam negeri, dan politik internasional, ada berita-berita dan
tulisan-tulisan yang sebenarnya sangat perlu mendapatkan perhatian serius dan
terus-menerus oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah berita-berita dan
artikel-artikel yang muncul si website Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Sebab: Pertama,
berita-berita dan artikel-artikel itu disiarkan secara luas oleh berbagai media
massa. Selain melalui jaringan Koran Jawa Pos di berbagai daerah, berita-berita
di website ini juga disiarkan melalui jaringan radio satelit Kantor Berita Radio
68H, yang kini dipancarteruskan oleh radio Emsa 91,45 FM Bandung; Anisa Tritama
92, 15 FM Garut; FM Merak 93,55 FM Banten; Unisi 104,75 Jogyakarta; TOP 89,7 FM
Semarang; PAS 101,2 Pati; Elviktor 94,6 FM Surabaya; Sonya 106,5 FM Medan;
Suara Andalas 103 FM Lampung; Gema Hikmah Ternate, 103 FM Maluku Utara; Suara
Selebes 100,2 FM Gorontalo; SPFM 103,7 FM Makassar, Ujung Pandang; Nusantara
Antik 105,8 FM Banjarmasin; Mandalika 684 AM Lombok; DMS 100,9 FM Ambon,
Maluku; Volare 103 FM Pontianak; Bulava 100,2 FM Poso; Elbayu 954 AM Gresik,
Jawa Timur; Suara Padang 102,3 FM Sumatera Barat. Daftar radio ini terus
diusahakan untuk bertembah lagi.
Kedua, berita dan artikel
itu ditulis dan diucapkan oleh orang-orang yang memiliki otoritas, baik secara
kelembagaan Islam maupun kepakaran atau latar belakang pendidikan. Dalam
situasi pertarungan opini secara bebas, maka kedua factor tersebut memegang
perenan penting untuk “memenangkan” pertarungan opini di Indonesia. Opini akan
membentuk image, dan jika image itu ditanamkan secara terus menerus, maka akan
membentuk satu persepsi di tengah masyarakat.
Kamis (25-9-2003) itu ada
sejumlah artikel yang muncul di website islamlib.com, diantaranya:
“Depolitisasi Syariat Islam”, “Hermeneutika Ayat-ayat Perang”, “Teori
Konspirasi selalu Meneror Kebenaran”, “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”,
dan sebagainya. Yang perlu kita cermati kali ini adalah tulisan yang berjudul
“Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, yang merupakan wawancara Ulil Abshar
Abdalla dengan Dr. Djalaludin Rachmat dari Bandung. Djalaludin Rahmat ditanya:
“Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan
juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini
sudah tepat penggunaannya?
Jawabnya: “Konsep tentang
kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Alqur’an
dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi –bukan
mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Alqur’an
selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alqur’an,
kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi
kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan
makna kafir dalam redaksi Alqur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir
adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Alqur’an disebutkan,
“immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak
bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî
lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau
ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu
dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap
manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah
atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.
Tanya Ulil Abshar lagi:
Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga
disebut orang kafir?
Djalaludin Rahmat: Betul.
Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an tentang konsep kafir. Dari situ
ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan
dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ.
Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam
pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam
surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un
‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, bagi orang
kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya.
Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut Alqur’an
disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman)
dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, “Tidak
beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam
kelaparan.”)
Itulah wawancara antara
Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya
penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu. Memang,
secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah
berfirman, jika jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya,
dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih. Tetapi, dalam
ayat-ayat lainnya, al-Quran juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non
Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah
menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab
dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam. Surat al-Maidah ayat
72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan,
bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah
SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, al-Quran juga
memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan,
“Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.” Jadi, ayat
ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu,
sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat
menyatakan: “Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah
atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.” Apalagai, dia katakana: “Dalam
Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim.
Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.”
Al-Quran yang manakah
yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir
dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah “kafir” untuk sebutan
bagi orang non-muslim. Di dalam al-Quran surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan
tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang
kafir. Dalam ayat ini ada redaksi “Falaa tarji’uuhunna ilal kuffaar”. Janganlah
kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar.
Karena, wanita-wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum
kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum
yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas
idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.
Pendapat Djalaluddin
Rahmat tentang “kafir” itu lebih jauh dari pendapat Nurcholish Madjid. Dalam
bukunya, “Islam Agama Peradaban” (2000) Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa
Ahlul Kitab tidak tergolong Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan
menentang kenabian dan Kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran yang beliau
sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Quran mereka disebut “kafir”,
yakni, “yang menentang”, atau “yang menolak”, dalam hal ini menentang atau
menolak Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Jika dicermati,
tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah
“kafir” sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia masalah itu
sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil
Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. (GATRA, edisi 21 Desember
2002), “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan
lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. (Kompas, 18 November 2002).” Dari
kalangan pimpinan Muhammadiyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan, menyatakan: “Jika
semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu
itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk
tiap agama memasuki kamar surganya.”
Di Malaysia, pernah ramai
ungkapan seorang menteri beragama Hindubernama Sammy Vellu, yang menyatakan
keberatan disebut sebagai kafir. Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri
kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center,
Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas,
ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim,
karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama?
Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam
al-Quran, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan,
sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum
non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka
bukan muslim.
Sosok pemikir Muslim
seperti Al-Attas kini mulai banyak diperbincangkan di dunia internasional. Ia
dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak
sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University
kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah
mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah
Barat. Dalam bukunya “Risalah untuk Kaum Muslimin” yang terbit pertama tahun 1973,
ia sudah menyatakan, bahwa antara Islam dan Barat terjadi konfrontasi yang
abadi, yang ia sebut sebagai “permanent confrontation”. Sosok dan kiprah
al-Attas bisa disimak dalam Dialog Jumat Republika, Jumat, 27 September 2003.
Apa yang dilakukan
kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah “kafir”
akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek
puluhan tahun dari para orientalis Barat. Sejumlah orientalis sudah lama
menggulirkan gagasan istilah “Islam” dengan I besar dan “islam” dengan i kecil.
Nurcholish Madjid, dalam pidatonya di TIM tahun 1992, juga menggulirkan gagasan
islam sebagai ‘unorganized religion”. Bahwa, Islam lebih tepat dimaknai sebagai
agama dalam pengertian “berserah diri” kepada Tuhan. Dengan makna seperti itu,
siapa pun, asal berserah diri kepada Tuhan dapat dikatakan sebagai “muslim”.
Kini, istilah “kafir”
bagi kaum non-Muslim, juga mulai digempur. Mengapa? hal ini tidak lain
merupakan refleksi dari sejarah dan pengalaman kaum Kristen terhadap agama
mereka sendiri. Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah.
Nama agama ini pun muncul dalam sejarah. Jesus tidak pernah memberi nama agama
yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos),
yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibarni disebut sebagai Messiah).
“Nasrani” menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Yahudi (Judaisme) bahkan baru
abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Dalam bukunya
berjudul, Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi
di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: “Judaism is the historical religious
experience of the Jewish people.” Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah.
Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga
begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi
seperti yang dikenal sekarang.
Ini sangat berbeda dengan
Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata “Islam”, selain memiliki makna
berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas
menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai “proper name”. Jadi,
bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18
dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan
“Mohammedanism”. Tetapi, upaya mereka gagal. Selain itu, sejak awal, Islam
sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan:
“Al-yauma akmaltu lakum diinakum”. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual
Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas islam
tidak dibentuk oleh sejarah. Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan,
Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai insitusi agama, islam adalah
institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin kan hal ini.
Karena itulah, Islam
memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan
kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis
selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu
akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau
munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat. Tetapi, bagi
seorang Muslim, keyakinan, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di
mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu
dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum
Muslim?
Selama beratus-ratus
tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau
meruntuhkan “bangunan” atau “epistemology” Islam. Struktur ajaran Islam yang
prinsipal, seperti bangunan “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Di kawasan
Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi
sebagai bagian dari Melalyu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura,
Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari
kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.
Hal-hal seperti ini perlu
mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya
akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat,
bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan
terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Semoga
Allah SWT melindungi kaum Muslim. Amin.
(Catatan Akhir Pekan
Ke-24 Adian Husaini, MA , 27 September 2003 dari Kuala Lumpur, Malaysia).
http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2003/09/28/2423/dekonstruksi-aqidah-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar