By: Nandang Burhanudin
Tiga minggu sudah, serangan koalisi 'Ashifatul Hazm
terhadap Syi'ah Houtsi berlangsung. Hasilnya mudah ditebak. Serangan udara
tidak efektif melumpuhkan kekuatan Syi'ah Houtsi, hasil gabungan dengan pasukan
reguler yang setia kepada mantan Presiden Yaman Abdullah Shaleh.
Bagi saya. Dialektika peperangan Sunni-Syi'ah, tidak
lagi relevan untuk menjadi parameter. Sebab permasalahan yang terjadi sangat
komplek. Hal yang sepatutnya menjadi bahan renungan, bahwa serangan Saudi ke
SYiah Houtsi justru adalah jebakan kesendirian terhadap Raja Salman. Istilah
kerennya, "jebakan isolatif" terhadap Raja Salman.
Ya. Latarbelakang Raja Salman sebagai sosok militan
dalam berIslam. Pandangan birlian dalam pelbagai peristiwa. Kehadirannya justru
membuat AS, Barat mencari celah, menjerumuskan Raja Salman pada konflik
berkepanjangan semasa berkuasa. CIA-Mossad-M16-FSB nampaknya mencapai
kesimpulan, jebakan itu adalah Syiah Houtsi.
Semua paham, Syiah Houtsi adalah penghuni
gunung-gunung terjal tak berpohon di Yaman. Mereka menguasai gua-gua. Sangat
sulit dihancurkan hanya dengan serangan udara. Untuk mengalahkannya, maka
diperlukan pasukan darat. Masalah terbesar, pasukan reguler akan sangat sulit
menghadapi medan tempur. Sebab perang gerilya akan dilakukan Syiah Houtsi,
seperti Vetkong di Vietnam atau Mujahidin Afghan vs Uni Soviet di tahun 80-an.
Yaman pernah menjadi kuburan massal bagi tentara Mesir di tahun 1967, itu
adalah fakta sejarah tak terbantahkan.
Di titik ini, mengapa AS "menghindar" dan
lebih memilih meratifikasi perjanjian Nuklir dengan Iran. Raja Salman pun kini
berhadapan pada penolakan Pakistan, untuk mengirimkan pasukan daratnya ke
Yaman. "Militer Pakistan, bukan untuk disewakan!" demikian ungkapan
Ketua Parlemen Pakistan.
Tidak ada pilihan Raja Salman, selain memperkokoh
pasukan reguler dan non reguler Sunni di dalam negeri Yaman sendiri. Pasukan
yang harus siap berada di bawah komando Presiden Abdu Rabbih. Sebab mereka
mengenal seluk beluk medan tempur di Yaman.
Namun persoalannya, jika pilihan ini yang terjadi.
Hingga kapan pertempuran itu berlangsung? Yaman secara keseluruhan akan binasa.
Saudi dan Teluk akan terus menerus diancam ketidakpastian. Efeknya mendunia:
harga minyak dan tentunya para pengungsi. Dua hal ini yang akan membuat
Indonesia semakin meradang.
Dua hari lalu, Raja Salman mengundang diskusi Presiden
Turki Erdogan, Emir Qatar, PM Pakistan. Semoga saja, menemukan jalan terbaik
seiring menguatnya koalisi Iran-Mesir-Israel-AS.
14
April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar