Majalah
Tarbawi Edisi 215 Th. 11 Dzulhijjah
1430 H/ 19 November 2009 M
Karena dunia, dalam benak kita sebagai manusia, adalah lukisan yang tak selesai, maka selamanya cara pandang kita
tentang dunia dan hidup kita akan kenaifan yang permanen. Dan itu akan
selamanya akan menurun pada sikap-sikap kita yang juga naif. Sebab sikap-sikap
kita adalah buah dari cara pandang dan
pemahaman kita tentang sesuatu.
Sekarang, walaupun kita hidup di tengah sebuah peradaban ilmu dan tehnologi
yang canggih, akses yang tak terbatas pada sumber informasi yang juga tak
terbatas, bahwa setiap hari kita dicekoki dengan doktrin bahwa pengetahuan
adalah kekuasaan, dimana apa yang ada di alas bumi, di perut bumi, dan di
angkasa sana, semuanya masuk wilayah penjelajahan ilmu pengetahuan manusia
modern; semua itu tidak dapat menghapus fakta bahwa lukisan kita tentang dunia
ini tetaplah tak pernah selesai, dan karena kenaifan kita sebagai manusia tetap
permanen. Begitulah Allah menitahkan:”Dan tiadalah kamu diberi ilmu kecuali
hanya sedikit.”
Tapi doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan adalah doktrin yang
sebenarnya benar. Pengetahuan, dalam sejarah peradaban manusia, selalu
berbanding lurus dengan kekuasaan. Pengetahuan, dalam sejarah peradaban
manusia, selalu berbanding lurus dengan kekuasaan. Peradaban Yunani, Romawi,
Islam dan sekarang Barat, semuanya menjadi pemimpin peradaban manusia di eranya
karena basis penetahuan mereka yang sangat kokoh. Bahkan, dalam sejarah
nabi-nabi, Sulaiman menjadi begitu berkuasa juga karena pengetahuannya, serta
banyaknya ilmuwan yang mejadi pembantunya. Pengetahuan adalah landasan bagi
sebuah kekuasaan yang kokoh.
Namun masalah manusia juga muncul dari situ, pertambahan pengetahuan
biasanya memang membuat manusia makin berkuasa. Tapi semakin berkuasa, manusia
berpeluang menjadi sombong, angkuh dan melampaui batas. Dan itu ironis. Karena
pengetahuannya sebenarnya tak pernah lengkap, tak pernah sempurna, jadi alasan
untuk sombong dan angkuh juga tidak pernah cukup. Keangkuhan manusia itu
selamanya rapuh.
Masalahnya adalah bahwa kesombongan dan keangkuhan itu adalah sifat Allah.
Berbeda dengan sifat Allah yang lain, Allah sama sekali tidak mengizinkan
manusia mengambil sifat itu. Maka dosa manusia yang paling cepat dibalas Allah
adalah kesombongan. Dan Allah punya ribuan cara untuk memangkas dan bahkan
meluluhlantakkan kesombongan manusia itu. Misalnya melalui bencana alam.
Sebagian maksud dari begitu banyak bencana alam yang terjadi di dunia adalah
meluluhlantakkan keangkuhan manusia itu. Seakan-akan Allah hendak berkata;Coba
kalau kamu bisa!
Bahkan ketika salah seorang nabi dan RasulNya, Nabi Musa as, suatu saat
mulai merasa terlalu tahu, Allah memangkas perasaan itu di dalam dirinya.
Itulah latar dari cerita pembelajaran Nabi Musa kepada Khidir. Itu cara Allah
mengajarkan beliau akan makna keangkuhan manusia yang rapuh, makna kerendahan
hati, dan kesadaran yang mendalam bahwa,”dan diatas setiap orang yang
memiliki ilmu, ada Yang Maha Mengetahui.”
Makna itulah yang diajarkan juga oleh Imam Gazali, bahwa, ” Siapa yang
mengatakan dia telah tahu, maka sesungguhnya dia bodoh.” Makna itu pula
yang diajarkan Imam Ahmad Ibnu Hanbal ketika beliau mengatakan, “bahwa,
Siapa yang mengatakan Allahu A’lam Bishshawab (Allah lebih tahu apa yang
benar), maka dia telah mendapatkan setengah pengetahuan.”
Kita tidak akan pernah bisa menjadi pembelajar sejati kecuali kita
menyadari ketidaktahuan kita, sekaligus merasakan kebutuhan yang kuat untuk
mengetahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar