Pemilihan umum
2014 harus menjadi tonggak sejarah penting tuntasnya transisi menuju demokrasi
yang kita mulai sejak 1998. Karena itu, pemilihan presiden yang akan segera
berlangsung bukan saja merupakan momentum politik biasa–dalam konteks siklus
demokrasi– melainkan momentum sejarah untuk Indonesia naik kelas menjadi negara
demokrasi yang lebih stabil dan fundamental.
Hasil pemilu
legislatif menunjukkan fenomena yang mengejutkan bagi sebagian kalangan. Riuh
rendah hasil survei menjelang pelaksanaan kampanye pileg memang sempat memberi
kesan bahwa perlombaan sudah berakhir bahkan sebelum pemilu dimulai.
Elektabilitas partai dan figur seolah sudah dipatok oleh jawaban responden
survei.
Belum lagi elemen
baru yang makin ikut berperan meramaikan ranah politik: media sosial.
Seolah-olah pemilihan umum sudah usai dan presiden sudah terpilih. Ternyata
belum. Hasil hitung cepat (quick count)berbagai
lembaga menunjukkan pembagian suara yang relatif merata, datar (flat) dan
terfragmentasi.
Hitungan ini
dikonfirmasi oleh hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kita
menyaksikan bahkan pemenang pemilu legislatif belum bisa melenggang mencalonkan
kandidat presidennya sendiri. Hal-hal yang selama ini taken for granted sebagai
rumus kemenangan, ternyata tidak terjadi.
Misalnya efek figur
terhadap partai, atau pimpinan partai yang juga pemilik media sehingga lebih
mudah melakukan “serangan udara”, pencitraan lewat orkestrasi pemberitaan di
media, dan belanja iklan yang fantastis, ternyata tidak otomatis berbuah
perolehan suara yang luar biasa pada saat pemungutan suara.
Bisa dibilang tidak
ada hal luar biasa pada Pemilu 2014 ini. Tidak ada kemenangan mudah dalam
pertandingan ini. Pada 2004, kita masih melihat ke-luarbiasaan, Partai Demokrat
yang meraih 7% berhasil mengegolkan Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2009,
giliran figur Yudhoyono yang mengerek perolehan suara Demokrat.
Pada 1999, Golkar
yang dihujat oleh gerakan Reformasi ternyata masih survive, bahkan meraih suara
nomor dua tepat di bawah PDI Perjuangan yang dianggap sebagai simbol perlawanan
terhadap Orde Baru, bahkan Golkar kemudian meraih suara terbanyak pada Pemilu
2004. Hal-hal luar biasa tidak terjadi di Pemilu Legislatif 2014. Tidak ada partai
yang meraih suara sangat dominan, tidak ada figur yang fenomenal hingga mampu
mengerek perolehan suara partainya. Apa yang terjadi?
Ekosistem Politik yang Lebih
Stabil
Pemilu Legislatif 2014 menunjukkan ekosistem politik yang lebih stabil dan publik pemilih yang tidak “kaget-kagetan” dengan segala manuver berbagai partai politik. Publikasi hasil survei tidak mampu menghasilkan“bandwagon effect” (efek menarik suara) karena pemilih sudah mampu membedakan antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Pemilu Legislatif 2014 menunjukkan ekosistem politik yang lebih stabil dan publik pemilih yang tidak “kaget-kagetan” dengan segala manuver berbagai partai politik. Publikasi hasil survei tidak mampu menghasilkan“bandwagon effect” (efek menarik suara) karena pemilih sudah mampu membedakan antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Bisa dibilang,
ekosistem politik kita sudah mampu melakukan “containment” (kemampuan
membendung ledakan pengaruh) dan mendistribusi guncangan ledakan itu merata ke
seluruh sendi-sendi ekosistem tersebut.
Itu yang tampak dari
publik yang tidak kagetan dan mampu melakukan penyaringan informasi di tengah
bombardir iklan dan berita. Efek figur yang populer, pencitraan media, belanja
iklan, semua itu menjadi faktor yang kontribusinya proporsional saja dari
sekian banyak faktor yang dibutuhkan dalam memenangkan pemilu.
Memiliki satu atau
dua dari sejumlah faktor itu tidak serta-merta menghasilkan kemenangan yang
mudah. Dari sini kita belajar bahwa mesin partai, kader, figur, belanja iklan,
dan kekuatan finansial, serta faktor-faktor lain adalah bahan mentah yang perlu
diracik oleh seorang koki andal untuk membuahkan hasil yang optimal.
Kita menyaksikan
masyarakat sipil semakin independen dan berdaya. Tidak ada lagi “politik
grosiran”, di mana dukungan diraih dengan hanya memengaruhi pemimpinpemimpin
kelompok sosial. Individu semakin menunjukkan jati dirinya. Mereka ingin
berpartisipasi tetapi juga tidak ingin pesta demokrasi ini dibajak oleh
oligarki elite.
Itu yang bisa kita
baca dari maraknya partisipasi masyarakat kelas menengah dalam ajakan untuk
tidak golput, sambil tetap “dengan galak” meminta pertanggungjawaban dan
akuntabilitas dari partai politik dan calon anggota legislatif. Inilah fenomena
masyarakat dalam gelombang ketiga sejarah Indonesia.
Setelah sebelumnya
dalam gelombang pertama, kita menjadi Indonesia dengan puncaknya pada
Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan gelombang kedua kita menjadi negara-bangsa
modern yang ditandai dengan Reformasi 1998 dan transisi demokrasi, maka pada
2014 ini kita memasuki gelombang ketiga dengan agenda utama memantapkan budaya
demokrasi.
Memantapkan Budaya
Demokrasi
Reformasi 1998 dapat disimpulkan sebagai sintesis dari dialektika antara tesis Orde Lama yang dilawan oleh antitesis Orde Baru. Perdebatan dalam relasi antara negara dan agama, polemik kebebasan vs kesejahteraan dan integrasi nasional vs otonomi daerah, telah mengerucut pada kesimpulankesimpulan yang kita dapat selama transisi dari 1998 hingga Pemilu 2014 ini.
Reformasi 1998 dapat disimpulkan sebagai sintesis dari dialektika antara tesis Orde Lama yang dilawan oleh antitesis Orde Baru. Perdebatan dalam relasi antara negara dan agama, polemik kebebasan vs kesejahteraan dan integrasi nasional vs otonomi daerah, telah mengerucut pada kesimpulankesimpulan yang kita dapat selama transisi dari 1998 hingga Pemilu 2014 ini.
Dalam perspektif
sejarah, Pemilu 2014 ini merupakan tonggak di mana kita menjalankan satu set
penuh prosedur demokrasi: pemilihan umum langsung, dan presiden yang berkuasa
secara maksimal dalam kerangka waktu konstitusional (dua periode) tanpa ancaman
tindakan nondemokratis, dan–mudah-mudahan– serah terima jabatan presiden yang
berlangsung secara damai dengan transisi pemerintahan yang mulus.
Demokrasi prosedural
baru dapat memastikan kepatuhan terhadap proses dengan harapan prosedur yang
baik akan membuahkan hasil yang baik pula. Prosedur demokrasi baru bicara pada
basis legitimasi. Kini saatnya kita melangkah pada substansi demokrasi, yaitu
berbicara kemanfaatan sebuah proses dan sistem demokrasi bagi manusia.
Demokrasi sebagai
budaya artinya nilai-nilai demokratis dijadikan rujukan dalam kita bertindak
dan bertingkah laku. Demokrasi bukan sekadar sistem yang mekanistik, melainkan
juga menjadi cara menyelesaikan masalah, alat untuk menavigasi kehidupan, yang
kita anggap tepat dan karenanya perlu dipertahankan.
Memantapkan budaya
demokrasi berarti menggali lebih dalam substansi nilai-nilai sejati demokrasi
sambil tetap menjaga sikap terbuka untuk mengkritik dan memperbaikinya. Tidak
ada sistem yang sempurna, yang ada adalah sistem yang dirasa tepat untuk
menyelesaikan masalah dalam jangka waktu tertentu. Revisi dan koreksi terhadap
praktek demokrasi akan semakin memantapkannya. Semoga Pemilu 2014 ini
benar-benar merupakan tonggak dituntaskannya transisi demokrasi yang sudah
berjalan 16 tahun.
Pemilihan presiden
harus menjadi perdebatan gagasan tentang bagaimana kita membangun demokrasi
yang mampu menghasilkan faedah bagi rakyat, bukan sekadar pesta pencitraan dan
kontes figur penghibur yang menyenangkan tapi melenakan rakyat dari masalah
sebenarnya. Semoga kita dapat melangkah ke masa depan dengan demokrasi yang
lebih mantap, lebih mampu menghasilkan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh
rakyat Indonesia.
ANIS MATTA
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
http://www.anismatta.net/2014/06/02/menuntaskan-transisi-demokrasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar