BETAPA KITA
KAYA
Ceplukan ini
seharga 0,99 Euro per 100 gram di Berlin (Metropolitan dengan biaya hidup
terrendah di Eropa), jauh lebih murah daripada misalnya di Aberdeen yang konon
seharga 3 Poundsterling per buah masak pohon.
Betapa Maha
Agung Allah yang mengaruniakan rizki kepada kita dari langit dengan air yang
tercurah untuk membuat benih mampu meretakkan kulit biji dan tunas yang lembut
menembus bumi untuk berakar, tumbuh, & mekar lalu menjadikannya buah-buahan
dan menghadirkannya ke meja kita dari seluruh dunia.
Betapa
jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari
adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap
hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang
kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu
gugat.
Padahal,
jangankan bebuahan, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut
disyukuri.
Hatta
sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui
pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil
upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan
sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah
katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya?
Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?
Maka seorang
‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja,
“Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan.
Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!”
“Boleh jadi
kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi
rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan
memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan
menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan
menitahkannya timbul untuk menemuimu.”
Jerman, 29
Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar