@salimafillah
”Aku merasa
bagai hewan sembelihan”, tulis seorang pemuda yang kelak menyejarah, ”Yang
digiring ke padang penjagalan.”
Itulah yang
dirasakannya ketika Sultan Nuruddin Mahmud Zanki memerintahkannya menyertai
sang paman mempertahankan Mesir dari serbuan Amalric, Raja Yerusalem di tahun
1164.
”Seakan
jantungku ditoreh belati”, ia melanjutkan penuturannya sebagaimana direkam oleh
sejarawan Ibnu Syaddad dalam karyanya Al Mahasin Al Yusufiyyah. ”Dan ketika itu
aku menjawab: Demi Allah, bahkan seandainya aku diberi seluruh kerajaan Mesir,
aku takkan berangkat!”
Pemuda ini
begitu membenci pertempuran, ngeri membayangkan darah, bergidik melihat luka,
dan tak tega mendengar jerit kesakitan. Ia tenggelam dalam keasyikan akan
hobi-hobinya. Ia suka bermain bola. Ia gemar bertamasya dengan kuda anggunnya.
Ia fasih bersyair. Ia ganteng dan flamboyan. Ia melankolik. Ia sensitif. Ia
gampang menitikkan air mata oleh hal-hal sepele. Ia sakit-sakitan.
Semua
kondisi dan perjalanan masa mudanya membuat banyak sejarawan enggan menuliskan
pertiga awal hidup pemuda ini. Menurut para sejarawan itu, kisah masa mudanya
akan membuat keseluruhan sejarah hidupnya ternoda.
Pendapat
para sejarawan ini dibantah Dr. Majid ’Irsan Al Kilani dalam disertasinya,
Hakadza Zhahara Jiilu Shalahiddin. Menurutnya, mengisahkan masa mudanya akan
menampakkan betapa Islam memang bisa mengubah sesosok pribadi lembek menjadi
pribadi pejuang. Bahwa celupan Ilahiyah memang mampu menyusun ulang komposisi
jiwa seseorang. Seorang pengecut bisa menjadi pemberani. Seorang pecundang di
masa lalu, tak kehilangan peluang menjadi pahlawan di masa depan.
Inilah jalan
cinta para pejuang. Sungguh hidayah Allah itu diberikanNya pada siapapun yang
dikehendakiNya. Maka di jalan cinta para pejuang, kita tak boleh memandang
tinggi diri dan merendahkan orang lain, apalagi menyangkut masa lalu.
Kembali pada
pemuda yang menarik hati ini. Sejak tahun 1164 itu memang hidupnya berubah.
Dulu ia membayangkan semua hal dalam pertempuran sebagai kengerian belaka.
Tetapi begitu Sultan Nuruddin dan sang paman, Asaduddin Syirkuh, memaksanya
terjun ke kancah jihad, ia terperangah. Meski kengerian itu tetap, ia menemukan
banyak keindahan. Persaudaraan. Pengorbanan. Rasa dekat dengan maut.
Kekhusyu’an. Kenikmatan ibadah. Keberanian. Kepahlawanan.
Dulu ia
membayangkan. Kini ia ’dipaksa’ merasakan. Akhirnya, ia menemukan gairah yang
begitu menggelora untuk membebaskan kiblat pertama ummat Islam, Al Quds, dari
penjajahan Salib. Hidupnya tak pernah sama lagi.
Setiap debu
yang menempel di jubahnya dalam jihad dari tahun 1164 hingga wafatnya, 1193,
ditapisnya dan dihimpun. Ia berwasiat agar debu-debu itu dijadikan
bulatan-bulatan tanah pengganjal jasadnya di liang kubur. Ia berharap debu-debu
itu menjadi saksi baginya nanti di hadapan Allah. Semoga Allah memuliakannya.
Pemuda itu bernama Yusuf. Tapi kelak kita memanggilnya Shalahuddin Al Ayyubi.
Duhai jiwa
muda yang suka berleha, maafkan kami memaksamu turun ke medan laga. Terimakasih
Akhinda @hamas.syahid & @ananditodwis atas perkongsian makna di Bali tempo
hari. — di Adisutjipto International Airport (JOG) (Yogyakarta, DI Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar