PUNCAK
SEJARAH & KHITTAH KOPI
-melawat
bandar muzakki di pontianak-
@salimafillah
Dalam
memandang peristiwa, kita sering hanya memusatkan perhatian pada puncaknya.
Padahal takkan ada puncak tanpa dasar dan penopang.
Dalam
pembebasan kembali Masjidil Aqsha pada tahun 1187, kitapun cuma mengingat nama
Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Hattin. Kita lupa bahwa ada tokoh-tokoh lain
yang mengasasi kemenangan besar Shalahuddin atas Guy de Lusignan dan Reynald de
Chattilon itu.
Setelah
khuthbah Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont pada 1095 untuk merebut
Jerussalem, seorang 'alim yang zahid mengunjungi Masjidil Aqsha pada 1097.
Orang itu, Abu Hamid Al Ghazali, dengan firasatnya yang kuat menangis di dekat
Qubbatush Shakhrah, dan mengatakan, "Barangkali kita akan kehilangan
kiblat pertama dan tempat mi'raj Rasulillah ini."
Sebagian
mengiranya mengigau. Sebagian mengiranya meracau. Sebagian mengira pikirannya
sedang kacau.
"Tak
mungkin", ujar mereka.
Ya, Khalifah
'Abbasiyah masih bertakhta jaya di istana berbenteng tujuh lapis, tak berdaulat
tapi dalam perlindungan para Wazir dan Sultan yang memerintah atas namanya.
Dan pada
1099 pasukan salib pertama dipimpin Godfrey de Bouillon membanjiri kota Al Quds
dengan genangan darah selutut. Kerajaan Latin pun berdiri di Jerusalem. Semua
terhenyak dan menyadari kebenaran tangis sang Imam.
Seusai musim
haji 1102, Al Ghazali berkeliling ke kota-kota utama kaum muslimin dari Makkah,
Madinah, Kairo, Aleppo, Damaskus, hingga Baghdad. Dia mencoba menyerukan
persatuan kaum muslimin dan jihad membebaskan Al Aqsha. Apa jawaban yang
didapatnya?
"Tak
mungkin."
Al Ghazali
sadar, bagi hati yang rapuh pegangannya, apapun jadi tak mungkin. Al Aqsha
lepas? Tak mungkin. Mari kita rebut kembali? Tak mungkin. Maka seusai
mengundurkan diri dari Madrasah Nizhamiyah dan kembali ke kampung halamannya di
Thus, dia menulis hal yang menurutnya amat mendesak, "Ihya'
'Ulumiddin", menghidupkan kembali ilmu agama pada pribadi dan ummat. Dengan
ilmu yang hidup, agama menjadi kefahaman, dengan kefahaman itu iman kembali
berakar, tumbuh, dan mekar.
Upaya Al
Ghazali adalah dasar, demikian dikatakan Dr. Majid 'Irsan Al Kilani dalam
disertasi doktoralnya di Al Azhar, 'Hakadza Zhahara Jilu Shalahiddin wa Hakadza
'Adatul Quds', dan sebagai penopangnya ada satu nama lagi yang harus disebut:
'Abdul Qadir Al Jailani.
'Alim mulia
dari keturunan Rasulillah yang digelari 'Sulthanul Auliya' dan namanya selalu
disebut dalam munajat tahlil sebagian besar muslimin Nusantara inilah yang
membangun zawiyah, pusat pendidikan berasrama semacam pesantren di negeri kita
untuk mendidik kader-kader mujahid. Dalam mentarbiyah ruh, fikrah, dan jasad
para muridnya, 'Alim yang secara fiqh bermadzhab Hanbali ini menggunakan kitab
Ihya' 'Ulumiddin karya Al Ghazali yang bermadzhab Syafi'i sebagai kurikulum
utama.
Kader-kader
didikan Syaikh 'Abdul Qadir Al Jailani inilah yang kelak menjadi tulang
punggung jihad yang digelorakan 'Imaduddin Zanki, putranya Nuruddin Mahmud, dan
dituntaskan Shalahuddin Al Ayyubi.
Seratusan
tahun kemudian, bahkan 'ulama lain yang di negeri kita dijadikan anutan
muslimin yang merasa berseberang faham dengan keduanya; Ibn Taimiyah, memuji
'Abdul Qadir Al Jailani sebagai Ahlul Bait panutan. Muridnya, Imam Adz Dzahabi
yang juga bermadzhab Syafi'i menulis,
"Andai tiada ilmu musthalahil hadits, Ihya' 'Ulumiddin akan menjadi kitab
terbaik sepanjang masa."
Di
Pontianak, saya mengenal seorang pemuda zaman kita yang ayahnya menamainya
dengan nama penuh berkah itu; 'Abdul Qadir Al Jailani. Bersama kawan-kawannya
yang dengan amat penuh kerelaan mengurusi kajian rutin Majelis Jejak Nabi, dia
pula mengasaskan sebuah kafe bernama 'Bandar Muzakki'.
Semangat
tempat 'nongkrong' nyaman yang dilengkapi perpustakaan mini ini adalah
mengembalikan kopi pada khittahnya seperti ketika dibawa dari dataran tinggi
Ethiopia ke wilayah Mukha' di Yaman pada abad ke-8. Kopi, kala itu adalah
minuman dua macam manusia. Pertama, ahli ibadah agar betah menjauhkan diri dari
ranjang dan bermesra dengan Allah di malam hari. Kedua, ahli ilmu yan g harus
menegakkan mata untuk membaca, mendaras, dan membincang kajinya dengan 'ulama
lain.
Tempo hari,
saya mendapat kehormatan untuk mencicip Kalosi racikannya sembari berbincang
dengan hadirin yang menggali berbagai sudut pandang dari soal nikah, rizki,
hingga syiar dakwah Nusantara. Mubaarak bagi Bandar Muzakki, yang namanya
hendak menghimpun siapapun yang suka mensucikan diri, dari jiwa hingga
hartanya.
Shalih(in+at)
yang ke Pontianak, sila mampir ke Bandar Muzakki, tempat untuk meresapi Khittah
Kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar