SUGIH TANPO
BONDO
Ada pepatah
Jawa berbunyi sugih tanpa bondo. Saya kurang memahami maksud sebenarnya dari
pepatah ini. Sedikit yang saya pahami, tetapi mengalaminya. Saya sering
mengatakan, jangan mengandalkan uang. Kasihan sekali orang susah, orang miskin
kalau apa-apa harus disinggung masalah uang. Nanti mereka semakin susah.
Penyedia
terbaik, ya Allah. Pemberi rizki terbaik, ya Allah. Rumah, apa harus beli? Apa
harus menyewa? Apa harus menyicil? Banyak sekali orang yang tidak mengeluarkan
uang sama sekali, tetapi mempunyai rumah. Seorang kawan membeli satu buah vila.
Kesepakatan harga vila tersebut sekitar Rp 700 juta. Dari awal negosiasi harga
kawan saya tersebut dengan penunggu vila.
Ketika
penunggu vila itu ditanya sama calon pembeli ini, mana yang mempunyai vila dan
ia berkeinginan berbicara serta bernegosiasi harga dengan si empunya vila, si
penunggu vila selalu menjawab, “Sama saya saja.” Dia menambahkan, cukup
berhubungan dengan dirinya. Karena, semua persoalan telah diserahkan kepada
dirinya.
Akhirnya,
negosiasi berlangsung antara calon pembeli dengan penunggu vila, bukan
pemiliknya. Pada mulanya, kawan yang merupakan calon pembeli itu merasa aneh.
Jangan-jangan ini tidak benar. Tapi kenyataannya, surat rumah yang asli
dipegang oleh penunggu vila. Hingga akhirnya tercapai kesepakatan harga, yaitu
sekitar Rp 700 juta.
Kemudian,
datanglah pemilik vila untuk melakukan proses tanda tangan jual beli. Itu pun
yang datang adalah anak si pemilik karena pemilik vila ternyata sudah meninggal
dunia. Si calon pembeli yang dihinggapi rasa penasaran bertanya kepada anak si
pemilik vila berapa sebenarnya harga yang disampaikan pemilik vila.
Anak
tersebut menjawab, berapa pun harga yang ditetapkan itu terserah beliau. Beliau
yang ia maksud adalah penunggu vila. Lalu, bingunglah calon pembeli ini. Ia
bertanya kepada diri sendiri, kok bisa almarhum begitu percaya kepada penunggu
vilanya. Anak itu tersenyum, lalu menjelaskan, “Sudah ada wasiat dari almarhum
bahwa vila ini diserahkan kepada si penunggu. Ini buat dia.”
Rupanya,
almarhum pembeli rumah pertama, kemudian disulap menjadi vila. Almarhum membeli
vila tersebut sekitar 25 tahun yang lalu. Menurut penunggu vila, 25 tahun lalu
pemilik masih muda. Ia mengatakan pemilik cuma datang sekali. Setelah itu, ia
hanya mengutus orang untuk merenovasi total bangunan yang telah dibelinya.
Setelah
renovasi selesai, vila itu diserahkan kepada si penunggu. Ia mendapatkan amanat
untuk menjaga dan mengurus vila tersebut. Ia diizinkan untuk tinggal bersama
istri dan anaknya, waktu itu masih satu, di vila. Sejak saat sampai wafatnya,
pemilik vila tak pernah datang lagi. Hanya anak almarhum yang akhirnya datang.
Tujuannya untuk menyerahkan vila kepada si penunggu. Subhanallah.
Saya
kebetulan mendampingi kawan saya itu dalam proses negosiasi awal. Kami bertemu
dengan bapak penunggu vila yang berada di sekitar Salabintana. Mungkin bapak
penunggu ini mempunyai amalan yang kita semua tidak mengetahuinya. Ia menempati
vila seperti rumah sendiri karena memang ia diminta menjaganya, tak boleh
keluar dari sana. Bahkan, bangunan itu direnovasi total. Jumlah kamar ditambah,
dibangun aula, mushala, taman, dan fasilitas lainnya.
Setelah itu,
pemilik memberikannya ke bapak penunggu vila. Termasuk, surat-surat rumahnya.
Hingga kemudian vila tersebut dijual, uangnya tetap menjadi haknya. Dari cerita
ini, bagi siapa yang percaya setiap saat harus butuh uang, ia sungguh merugi.
Bagi yang percaya bahwa Allah Mahakuasa, sungguh beruntung dia ini. Wallaahu
a’lam.
Apa amalan
si bapak penunggu ini kala mudanya dulu? Atau, amalan orang tuanya.
Dengar-dengar, dulu waktu ia mau membenahi rumahnya sendiri yang akhirnya
berubah menjadi vila, uangnya disedekahkan kepada orang yang membutuhkan.
Sampai akhirnya, rumahnya dijual, namun tetap saja akhirnya dimilikinya. Masya
Allah.
Source: buku
Allah dulu,Allah lagi,Allah terus
Repostn
Share by NgajiBarengYM
Unofficial
Fans Page of YM
https://t.me/NgajiBarengYM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar