MuslimPreneur:
INSPIRASI
SORE
☕️☕️☕️☕️☕️☕️
Membangun
Kerajaan Hati Sebelum Membangun Kemewahan
"Tahukah
kamu? Jika kamu seperti itu, itu tandanya kamu manusia miskin, miskin
hati!" nasihat Haji Ismail pada Boby, anaknya.
Boby
mengelola restoran miliknya. Namun, dalam mengelola restoran itu, Haji Ismail
banyak menerima laporan yang kurang enak didengar.
"Ayah
dengar, kamu suka mengundur-undur gaji karyawan. Kamu juga sering
'mempermainkan' supplier. Empat bon dari supplier sudah numpuk, tapi kamu masih
jawab nanti-nanti terus, atau cuma bayar satu bon. Jangan mengambil keuntungan
dari penderitaan orang. Itu tidak baik. Buat apa senang, sementara ada orang
yang menjadi susah karena ulah kita?"
"Dari
mana ayah dengar semua itu?" potong Boby penasaran.
"Ayah
nggak sengaja berkunjung ke restoran kamu. Di sana ayah bertemu dengan pemasok
minyak tanah. Dia yang cerita. Tega kamu Bob. Pemasok kecil saja masih kamu
undur-undurkan bayarannya. Ketika ayah konfirmasikan lebih lanjut, ternyata
menemukan semakin banyak hal yang mengecewakan."
"Bob,
dengar ya, untuk gaji karyawan, menurut sunnah yang dicontohkan Rasulullah,
kalau bisa, kita bayarkan sebelum keringatnya kering. Lalu, untuk para pemasok,
kenapa juga kamu tunda-tunda pembayarannya. Toh, kamu juga ingin cepat kalau
minta barang ke mereka. Harusnya adil dong. Lagipula, bisnis kamu itu bisnis
tunai, bisnis cash. Nggak ada orang makan di tempat kamu, lalu ngutang. Nggak
ada, kan?"
Boby hanya
terdiam. Dia menganggap ayahnya tidak mengerti tentang bisnis. Boby berprinsip,
jika pembayaran bisa ditunda, mengapa harus dibayarkan segera? Bukankah uangnya
bisa diputar dulu, diendapkan di bank, dan sebagainya. Begitu pikir Boby.
"Ayah
mengerti apa yang kamu pikirkan. Kamu ingin untung lebih besar, kan?" kata
ayahnya membaca pikiran Boby. Selanjutnya, keluarlah kata-kata seperti ini,
"kamu tahu nggak? kalau begitu, itu tandanya kamu masih miskin; miskin
hati!"
Cerita ini,
dengan beragam versinya, sangat mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita melihat banyak orang kaya tetapi tetap menipu dan terus mengejar kekayaan.
Kita juga sering melihat yang berkedudukan tinggi, tetapi terus mengejar
kedudukan yang lebih tinggi lagi. Mereka ini, sebagaimana kita, boleh jadi
tidak pernah terpuaskan dahaganya. Mereka selalu merasa kurang dan kurang.
Akhirnya, sebagaimana disebut Haji Ismail, manusia-manusia seperti ini sangat
layak di sebut miskin, bukan orang kaya, bukan orang sukses. Sementara itu,
tidak sedikit orang-orang yang ingin kaya, tetapi mencari jalan menuju kaya
dengan cara-cara yang salah. Walhasil, mereka bertambah miskin, bertambah
susah, dan malah bertambah jauh dari kaya.
Luqman
teringat nasihat Haji Muhidin. Katanya, "Bangun dulu kerajaan hati yang
mantap sebelum membangun kemewahan." Maksudnya, hilangkan sifat serakah,
rasakan kebersyukuran terhadap apa yang ada dalam genggaman kita, selalu
mencari kelebihan, bukan kekurangan. Sehingga, kata Haji Muhidin lagi,
"kita bisa berbuat banyak dengan apa yang kita miliki, bukan fokus
terhadap apa yang tidak kita miliki. Hidup menjadi nikmat karena kita
menikmati. Kita pun bisa melakukan semua yang diperintahkan Allah untuk berbagi
dan peduli terhadap sesama."
Nah, nasihat
Haji Muhidin pada baris terakhir ini, "berbagi dan peduli", menjadi
kunci sukses mudah kaya dan sukses. Kemampuan kita untuk berbagi dan peduli,
selain tingkat kepatuhan terhadap perintah dan larangan-Nya, menjadi tolok ukur
Allah untuk membukakan pintu-pintu kekayaan dan kesuksesan kepada kita.
Kekayaan dan kesuksesan yang sebenarnya adalah ketenangan dan kebahagiaan,
keamanan dan kesejahteraan. Ukurannya pun menjadi relatif. Ukurannya tidak lagi
menjadi ukuran dunia atau ukuran materi. Ia sudah melangkah jauh melampaui
ukuran material. Para ulama mengatakan, kekayaan yang sebenarnya adalah
kedekatan dan kecintaan kita kepada-Nya. Jika kita sudah dekat dengan Allah,
jika kita sudah cinta kepada-Nya, harga dunia menjadi sangat kecil, tiada
artinya. MuslimPreneur:
Dikisahkan,
Umar bin Khaththab pernah menginfakkan kebun kurma yang dimilikinya gara-gara
ketinggalan shalat ashar berjamaah. Ia menganggap kebun kurma dan kicauan
burung yang ada didalamnya itu telah 'menyita' waktunya untuk shalat berjamaah.
Umar telah sampai pada tahapan menghargai Allah lebih besar dari harga dunia.
Bagi beliau, dunia bukan lagi ukurannya. Harga dunia menjadi tidak ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan Allah dan akhirat. Bahkan, bagi seorang
Umar bin Khaththab, nilai satu kali shalat berjamaah jauh lebih besar daripada
harga dunia, yang ketika itu digambarkan dengan luasnya kebun kurma.
Sekarang
lihatlah kita, begitu mudahnya kita meninggalkan shalat berjamaah tepat waktu
di masjid, bahkan meninggalkan shalat itu sendiri, gara-gara urusan dunia. Kita
tega membelakangi Allah, bahkan bermaksiat dengan rezeki-Nya. Kita pun rela
mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan yang telah dianugerahkan Allah SWT, lengkap
dengan kehormatan, kemuliaan, dan harga diri. Kita gadaikan itu semua demi
kekayaan, demi dunia. Inilah sebagian dari wajah kita. Kita masih menghiasi
pandangan kita dengan dunia.
Source:
Ustadz Yusuf Mansur
dalam Buku
Kaya Lewat Jalan Tol
Repost n
reshare by MuslimPreneur
Sukses
Bisnis Dunia Akhirat
https://t.me/MuslimEnterpreneur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar