@salimafillah
"Pendapatku benar", ujar Al Imam Asy Syafi'i, "Tapi
dimungkinkan mengandung kesalahan. Dan pendapat selainku itu salah, tapi
dimungkinkan mengandung kebenaran."
Dalam perkara yang bukan pokok melainkan hanya cabang saja, perbedaan
pengamalan keagamaan amat tua usianya.
Jika kita meyakini bahwa pendapat kitalah yang benar dan tetap ingin
mengamalkannya di tengah khalayak yang punya fahaman berbeda; dapatkah kita
melakukannya tanpa menyakiti hati sesama?
KH AR. Fakhrudin rahimahullah, Ketua Umum PP Muhammadiyyah 1968-1990
suatu saat diundang untuk memberikan ceramah Ramadhan di suatu Masjid di Jawa
Timur. Jelas, jama'ah yang hadir adalah saudara-saudara beliau kaum Nahdliyyin.
Pak AR, demikian beliau biasa dipanggil, sebagaimana Syaikh Al Albani
adalah orang yang berpegang teguh pada hadits Bunda 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha
tentang jumlah raka'at shalat tarawih.
"Adalah Rasulullah tidak pernah shalat malamnya melebihi 11
raka'ar di dalam Ramadhan ataupun di luarnya, tapi jangan tanya padaku betapa
panjang dan bagusnya." (HR Al Bukhari)
Adapun para pembesar sahabat seperti Sayyidina 'Umar dan Ubay ibn Ka'b
yang memulai pensyiaran Tarawih berjama'ah sebulan penuh di Masjid memahami
bahwa Nabi tidaklah membatasi jumlah raka'at tertentu. Mereka memperbanyak
raka'atnya agar jama'ah ringan berdirinya.
Mendapati Pak AR sangat mendalam ilmunya, seusai ceramah beliau
didaulat menjadi imam.
"Bapak dan Ibu sekalian, biasanya Shalat Tarawih dan Witir di
Masjid kita ini ditunaikan berapa raka'at? Sebelas atau Duapuluh Tiga?"
"Duapuluh tigaaa!", seru jama'ah kompak.
"Baik", ujar Pak AR, "Semoga dapat kita tunaikan
sebagaimana kebiasaan kita."
Lalu beliaupun mulai mengimami. Biasanya di Masjid ini, meski
shalatnya 23 raka'at, jam 20.00 WIB semua sudah dapat dirampungkan. Lha, ketika
Pak AR menjadi Imam, sudah jam 20.30 tapi mereka baru menyelesaikan 8 raka'at.
Maka ketika berdiri lagi, menghadaplah Pak AR ke khalayak dan
bertanya, "Bapak dan Ibu sekalian, mengingat waktu, kita selesaikan sampai
duapuluh arau witir saja?"
"Witiiiiirrrrr", jawab jama'ah serempak dan mantab.
"Baik", ujar Pak AR. Dan semuapun lega.
Berkata Gus Dur menanggapi peristiwa ini, "Hanya Pak AR seorang
yang bisa membuat warga NU sukarela ketika shalat tarawihnya didiskon
60%."
FOTO: Saya dan Uda Akmal Sjafril dahng keukeuh tentang siapa yang
lebih banyak menghabiskan otak-otak. Untunglah konflik terjadi di meja makan
sehingga senjata yang paling berbahaya hanya pisau steak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar