@salimafillah
Sebesar apa nilai diri kita di sisi orang lain, sering tak seperti
dugaan kita.
Dionysius, filsuf fakir yang suka sembarangan menggeletak rehat di
tepi jalan itu suatu hari didatangi Rajadiraja yang kuasanya membentang dari
pusat Eropa hingga pegunungan Himalaya, Alexander Agung.
"Aku Alexander, Sang Raja", ujarnya memperkenalkan diri
sambil membungkuk ke arah sang filsuf yang berbaring meringkuk. "Aku
Dionysius", sahutnya mengulurkan tangan untuk bersalaman sambil
meringiskan senyum. "Si anjing."
Betapa kasihan orang pandai ini, pikir Alexander. Seluruh hidupnya
dihabiskan dalam kepapaan dan kehinaan. Sedang dia, Maharaja yang menggenggam
dunia.
"Adakah yang bisa kulakukan untukmu sebagai Rajamu?"
"Tentu saja", sahut Dionysius. "Minggirlah sedikit.
Karena tubuhmu menghalangi kehangatan sinar mentari pagi yang diperlukan
tubuhku."
Konon, hari itu, kesombongan Alexander runtuh.
Seperti apakah nilai diri kita di sisi orang-orang yang kita cintai?
Betapa bahagianya menjadi Abu 'Ubaidah ibn Al Jarrah, Mu'adz ibn Jabal, dan
Salim Maula Abi Hudzaifah sebab di kala ada yang mengangankan untuk memiliki
harta sepenuh bumi lalu menginfakkannya, atau berjihad lalu syahid lalu
dihidupkan lagi untuk berjihad lalu syahid dan hidup lagi terus berulangkali;
adalah 'Umar ibn Al Khaththab menginginkan andai 3 sahabat hebat itu hidup
kembali dan dia bisa hidup fi sabilillah bersama mereka, tolong menolong dalam
ketaatan.
Dalam jaulah silatil-arham para penulis Pro-U Media kemarin, kami
merasa perlu saling memotret. Sebab seorang mukmin adalah cermin bagi
sesamanya. Setiap kali kita melihat ada yang tak beres dalam bayangan di kaca,
maka kita tahu bahwa yang harus pertama dibenahi adalah diri kita sendiri.
Dan memang, ada bagian tubuh yang tak dapat kita lihat tanpa bantuan
cermin. Ada aib diri yang tak dapat kita kenali tanpa ketulusan saudara. Di
dalam hati mereka, ada potret kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar