@salimafillah
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru
mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa.
Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah
Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil
melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas
risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak
mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al
Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah
kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya
jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa,
tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu
mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang
bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk
membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak
suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian
berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang
berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat
kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai
penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan
lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan
mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia
muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di
kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya
makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal
menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan
semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi
jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis,
usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan
sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa,
seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing
pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari
menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang
dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si
calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon
tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki
dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk
ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu
dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman
Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan
lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa
hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan
sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang
teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan
darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata
muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya
dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya
[In reply to Salim A Fillah - Quotes Telegram]
di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu
memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru
tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan
nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan
seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan
kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam
ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat
itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu.
Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak
menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang.
“Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami
marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang
memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa
kotor. Merasa jijik. Saya
terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu
menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut
kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar.
Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya
saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa
itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya
“karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh
dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit
adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya,
meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi
gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak,
penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang
menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang
setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar
menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu
terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh.
Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar
menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya
mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka,
keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa
percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain
yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan
kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu
malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak
itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun
menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan
sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa
masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah,
balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan
di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami
titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan
Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina
jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata -kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd
yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau,
“Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan
mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar