By: Nandang BUrhanudin
****
Para pendiri dan pahlawan negeri ini, bisa jadi tengah
menangis melihat negara yang dimerdekakan dengan darah dan air mata, kini
tunduk pada kepentingan penjajah. 70 tahun merdeka, rakyat makin bodoh dan
mudah dibodohi. Kekayaan alam diserahkan tanpa perlawanan, atas nama
ketidakmampuan. Jika zaman penjajahan, rakyat dipaksa kerja rodi atau romusha.
Pun mereka harus membayar upeti, kini hal yang sama terjadi. Rakyat diperas
dengan pajak yang semakin mencekik leher. Sementara penggunaan pajak, tak
pernah dirasakan.
Hal minimal kemerdekaan adalah. Setiap jiwa terhindar
dari jeratan kekufuran dan kefakiran. Kufur yang membuat dirinya diperbudak,
lalu menghambakan diri kepada selain Allah, Rabbul 'Izzati. Namun apa yang
terjadi setelah 70 tahun merdeka, rakyat Indonesia justru diperbudak
"secuil rupiah". Lalu menggadaikan idealisme ke-Islaman dan
keIlahiyan. Kekufuran model jadul, berupa mendatangi dukun, percaya tuyul dan
takhayul, hingga rela berbuat cabul. Kini di era yang katanya modern, sebagian
malah menjadikan kekufuran menjadi tren. Ada yang menjual keIslamannnya demi
meraih beasiswa lembaga-lembaga dunia yang notabene Yahudi. Ada pula yang
melacurkan diri ke dalam kekufuran aliran sesat, yang notabene hasil produk
penjajah itu sendiri.
Kemerdekaan dari kefakiran. Tanda orang terbebas dari
fakir adalah, saat ia mampu mendapatkan jaminan kenyamanan dalam pendidikan,
kesehatan, dan pangan. Bila negara yang konon kafir seperti Australia, mampu
memberikan jaminan kebutuhan pokok secara gratis. Namun Indonesia dengan jumlah
pencapaian pajak yang "wah" dan sumber daya alam yang berlimpah,
justru tak mampu menjamin apapun walau hanya stabilitas harga "kacang
kedelai". 70 tahun merdeka, rakyat Indonesia makin papa. Kini di era rezim
Jokowi, semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Sementara pasar yang ada, 98 %
telah dikuasai Asing dan Aseng dari hulu hingga hilir.
Maka di titik ini, jihad kita adalah melawan segala
bentuk ketidakadilan. Walau kita pun sadar, semua alat negara telah dikangkangi
pemilik modal. Strategi ala China menjadi tren. Yaitu mengembalakan pejabat
yang bisa diajak kerjasama dengan penjahat. Gaya-gaya model Om Liem, kini
digunakan Ahok di Jakarta atau Jokowi di level nasional. Meninabobokan aparat
negara seperti TNI dan Polri, kejaksaan, hakim, dan PNS dengan ragam fasilitas.
Tujuannya aparat menjadi alat yang jinak, lalu mendukung segala tindakan
"anarkisme" penguasa dalam memiskinan dan mengkafirkan rakyat
Indonesia.
Maka wajar, faktanya Negara tak pernah ada dalam kehidupan kita.
Sebagai rakyat kita mengalami kelacuran kemandirian. Hidup tidak hanya
autopilot. Tapi hidup kita tak ada lagi yang mengatur, selain diri kita
sendiri. Adakah peran dan fungsi negara saat kita sakit, tidak memiliki modal
usaha, bangkrut, pendidikan? Sama sekali tidak ada. Negara di zaman Dajjal saat
ini, membiarkan kita hidup. Tapi hidup seperti kecebong, yang tak akan pernah
bisa besar dan setiap detiknya terancam kematian. Namun sayangnya, kebanyakan
rakyat generasi kelahiran tahun 80-an, telah mengalami pikun dibodohi generasi
tua yang dikomandoi Mbok tua, yang kini terkena virus jumawa.
09 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar