27 Pengosongan Jiwa
Majalah
Tarbawi Edisi 235 Th. 12 Ramadhan-Syawal 1431 H,
23 September 2010 M
Datanglah kepada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong. Itulah jalannya.
Jika keangkuhan adalah kendalanya, maka jauh sebelum manusia mendatangi teks
mereka harus terlebih dahulu belajar tentang kerendahan diri. Hanya dengan
begitu teks menemukan tempatnya yang terhormat dalam jiwa kita. Dan hanya
ketika ia menjadi terhormat maka ia akan dipandang utuh dan apa adanya.
Kerendahan hati sejatinya merupakan penampakan akhir dari iman. Sebab iman
melahirkan pengakuan. Pengakuan membuahkan kepasrahan. Kepasrahan menampak
dalam ketundukan. Ketundukan mengejawantah dalam kerendahan hati. Jadi begitu
kita menerima keabsahan teks dan keabsahan pembawa teks, kita menyiapkan jiwa
kita untuk menerima semua makna yang mencerahkan di balik teks tersebut.
Kerendahan hati itu dimanifestasikan dengan melepaskan teks berbicara apa
adanya, membiarkan teks menampakkan diri dan maknanya tanpa berusaha membuat
plot pada makna tertentu yang kita inginkan. Kita harus belajar teks mengalir
dalam akal dan jiwa kita seperti air mengaliri sungai mengikuti arusnya,
merasakan derasnya, mendengarkan bunyinya, menikmati gelombangnya, menatap
beningnya, melepaskan pandang pada riaknya yang mungkin menyembunyikan gelora
dari permukaan.
Kerendahan hati itu dimanifestasikan dengan membebaskan diri dari apa yang
oleh sayyid Quthub disebut sebagai muqorrarat fikriyah saabiqah atau
pikiran-pikiran lama yang sebelumnya kita yakini secara aksiomatik. Karena
pikiran-pikiran terlalu sering menjadi preferensi kita dalam memaknai teks.
Padahal belum tentu teks tersebut terhubung ke sana. Itu membuat teks masuk
dalam perangkap pemaknaan kita yang sempit dan menghilangkan begitu banyak
kemungkinan makna yang terkandung di dalam teks tersebut.
Walaupun makna teks yang kita pahami kemudian tetap merupakan kebenaran
subjektif, adalah penting untuk menyadari sejak awal bahwa karena iman
merupakan pilihan keyakinan yang subjektif, maka kebenaran subjektif itu juga
merupakan bagian dari proses penyatuan kita dengan teks yang tidak perlu
dipertentangkan dengan keharusan menyisakan ruang bagi pemaknaan yag lain atas
teks.
Masalahnya tidaklah terletak pada kemungkinan pemaknaan yang beragam. Sebab
teks sendiri membuka ruang itu. Intinya adalah pada kerendahan hati yang
membebaskan kita dari semua pretensi pemaknaan yang memungkinkan teks lebih
bebas dan lepas menampakkan diri bersama makna-maknanya secara apa adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar