Andai kita
menebus segala kesalahan kita dengan dunia yang kita punya, lalu kita mendapati
Allah di sisi kita, tentu ini adalah proses pendekatan diri kepada Allah yang
murah adanya.
Seorang
bapak datang dalam keadaan bermasalah. Namun berbeda dengan yang lain. Ia
datang dengan senyuman. Ia berbagi pengalaman, bahwa ia senang Allah
bangkrutkan.
Saya sudah
tahu kemana arahnya pembicaraan dia. Tapi saya biarkan. “Kalau saya tidak
dibangkrutkan Allah, saya sudah akan terlalu jauh dari Allah,” begitu katanya.
“Sangat jauh malah. Saya banyak bermaksiat dengan rizki dan jalan yang justru
sesungguhnya diberikan oleh Allah,” katanya lagi.
Saya
kemudian bertanya sedikit kepadanya, “Apa yang didapat setelah jauh dari
Allah?” “Ketidaktenangan. Ketidaktahuan tujuan hidup. Dan yang lebih jelas
lagi, dosa”. “Dosa?” “Ya, dosa.
Makin lama
Allah biarkan saya dalam kekayaan, makin banyak rasanya dosa saya. Jangankan
urusan yang nyata-nyata sebagai dosa. Urusan meninggalkan shalat sunnah saja
kan sebenernya dosa. Ngentengin sunnah. Begitu kan kata Ustadz?” “Ya. Betul.
Ngentengin sunnah juga merupakan dosa. Kalau terlalu lama ninggalin sunnah, ya
bermasalah juga jadinya. Apalagi kalau yang ditinggalkan itu adalah
sunnah-sunnah muakkad; sunnah tahajjud, sunnah dhuha, sunnah qabliyah
ba’diyah”. “Nah ustadz, saya bahkan mulai menyepelekan shalat wajib. Saya
ngebayangin, betapa saya menzalimi Allah yang sangat sayang kepada saya. Hingga
saya bersyukur bahwa saya diberi-Nya karunia kejatuhan ini”. Luar biasa.
Sahabat saya ini sudah berhasil menaruh baik sangkanya kepada Allah, dan
berhasil memetik hikmahnya.
Di dalam
program Ihyaa-us Sunnah (Program Menghidupkan Sunnah), yang juga akan menjadi
program menarik semua peserta KuliahOnline untuk menebus dosa (he he he), dan
untuk mengangkat derajat, memang nyata-nyata dipelajari bahwa di balik sunnah
itu ada kejayaan. Hamba-hamba Allah memang banyak yang sudah menyepelekan
sunnah.
Pengertian
sunnah masih: “Kalau dikerjakan mendapatkan pahala, kalau tidak dikerjakan,
tidak mengapa”. Akhirnya, bener-bener tidak mengapa: “Cuma sunnah ini”, begitu kata
sebagian dari kita. Padahal, menjaga sunnah adalah sesuatu yang terpenting yang
benarbenar berpengaruh kepada kualitas hidup kita. “Terus, apa yang terjadi?”,
tanya saya lebih lanjut kepada beliau.
“Ya, namanya
orang bangkrut, hidup saya penuh dengan masalah. Tapi semakin besar masalah
saya, semakin saya bersyukur. Dalem sekali rasa syukur saya.
Saya anggap,
beban masalah saya adalah pengurangan dosa saya. Semakin berat, maka akan
semakin besar pengurangannya. Saya ikhlas menjalani ini ustadz.
Ridha
sekali. Daripada dipendem dikuburan yang mengerikan, ini saya terima. Saya
terima perlakuan dan intimidasi orang-orang yang uangnya di saya dan saya tidak
bisa mengembalikan. Saya terima cacian dan makian keluarga saya, saya terima
sikap tidak pedulinya kawan-kawan yang kadang menyakitkan saya sebab saya
begitu memperhatikan mereka. Saya terima semuanya.”
Bukan saya
berbangga diri. Dia cerita bahwa buku Mencari Tuhan Yang Hilang, buku perdana
saya, yang sudah lumayan membentuk kepribadian dia ini.
Alhamdulillah,
katanya, buku tersebut banyak berisi persoalan-persoalan tauhid, iman,
kepasrahan, tanggung jawab, amal saleh, dan lain-lain sebagai bekal di soal
kehidupan “Apa doa saudara setelah saudara dekat dengan Allah?”, pancing saya.
“Saya berdoa, agar masalah saya jangan cepat selesai kalau saya belum kuat
imannya. Biar saja saya begini dulu.
Dunia ramai
sekali di luar diri saya, tapi saya merasakan hebatnya bersepi-sepi dengan
Allah”. “Terus, nasihat apa yang saudara harapkan dari saya?”
“Saya hanya
pengen ketemu ustadz saja. Ga lebih”. Dia bicara banyak sekali.
Dan saya
kira, kedatangannya justru nasihat untuk diri saya.
Semakin
kaya, semestinya makin hebat shalat wajibnya, makin rajin shalat sunnahnya.
Makin jaya, makin bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Makin
berterima kasih pada-Nya. Bukan sebaliknya. Terlalu mahal tebusannya bila kita
tergolong sebagai golongan orang-orang yang melupakan Allah. Dia juga
mengingatkan tentang diri saya sekian tahun yang lalu. Ketika saya pompa diri
ini,bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan saya. Allah tidak akan pernah
mengabaikan saya.
Allah tidak
akan pernah tidak mau menolong. Allah akan selalu menolong.
Orang ini
mengingatkan saya banget-banget, bahwa ketika Allah ada di kehidupan kita, maka
segalanya akan mengalir bahagia.
Biarlah
Allah yang mengatur hidup kita. Biarlah. Hingga nanti saatnya datang, Allah
akan mengulurkan pertolongan-Nya, dan mengangkat derajat kita.
Sementara
itu, Allah mempersiapkan diri kita untuk menjadi individu yang lebih baik lagi
yang lebih hebat lagi. Maka manakalah Allah sudah mengangkat kembali hidup
kita, insya Allah dengan izin-Nya, kita akan menjadi manusia-manusia yang
banyak manfaatnya.
“Ustadz,
sungguh, saya sedang menunggu takdir Allah terhadap diri saya. Saya belajar
dari ustadz. Saya mau memahami bahwa eposide kehidupan saya belumlah berakhir
di sini. Masih panjang kan Ustadz…?”
Saya
selanjutnya membiarkan ia bicara. Kelihatan sekali sebenernya tatapan matanya
hampir kosong. Namun iman di hatinya, dan secercah ilmu, sudah menjadi bara di
tengah kehampaannya. Semoga ia kuat. Dan dia pasti kuat, insya Allah. Allah
teramat suka sama manusia-manusia yang percaya bahwa diri-Nya pasti mengatur
yang terbaik.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar