Ketika kita
dilanda kesusahan,
“bercandalah”
dengan Allah
Seberapa
percayanya kita sama Allah? Ini yang menjadi pertanyaan tauhid dan iman kita
pada-Nya. Allah akan bekerja sesuai dengan kepercayaan kita pada-Nya. Memang
kadang sesuatu berjalan “seperti” tidak sesuai kepercayaan kita pada-Nya. Tapi
yakinlah, kita akan kaget sendiri manakala kita teguh berdiri pada apa yang
kita yakini.
Tahun 1999,
saya lepas dari penjara kepolisian. Sebab ada perjanjian tidak tertulis
(damai), bahwa unsur pidana akan dihilangkan jika saya menerima kasus ini
betul-betul dijadikan kasus perdata. Saya menerima. Padahal saat itu, untuk
menerima kasus ini, berat. Saya tidak berada langsung di balik kasus ini. Ini
kasus saya yakini sebagai kasus-kasus istidraj. Istidraj ini artinya dimainkan
Allah. Kita punya salah di jalan A, tapi Allah hidangkan kesusahan ketika kita
berjalan di jalan B. Maka kasus ini saya terima, dengan pertimbangan mudah-mudahan
Allah memaafkan kesalahan saya di tempat lain yang barangkali hukumannya adalah
ini.
Tapi efek
dari penerimaan ini, saya bilang di atas, berat. Apalagi untuk kondisi saya
saat itu. Saya harus membayar 86 juta rupiah dalam waktu hanya 1 bulan. Kalau
tidak, maka kasus ini dinaikkan lagi, dan terus berlanjut sampe ke LP. Dan saya
“diwajibkan” untuk menyerahkan diri sendiri tidak perlu dijemput petugas.
Begitu.
Kondisi saya
saat itu, sebagaimana saya ceritakan dalam buku “Mencari Tuhan Yang Hilang”,
bener-bener minus. Keluarga nyerah. Sebab emang 86 juta itu bahagian dari
hutang 1 milyaran yang harus saya bayar. Kawan-kawan juga pada minggir semua.
Ga ada. Kemudian bayangan bakal kebayar, ga bakal ada. Boro-boro buat bayar,
buat ongkos pulang dari kantor kepolisian menuju rumah transitan (saya belum
bisa pulang sebab satu dua hal saat itu) saja saya bingung. Dan setelah pulang
nanti, makan apa, pakai pakaian apa, saya bingung.
Saudara-saudaraku
peserta KuliahOnline. Kondisi saya saat itu parah. Pakaian, hanya selembar.
Bener-bener hanya selembar. Selama 14 hari saya di dalam tahanan, saya tidak
ganti baju! Dan tentu saja saya tidak pakai lagi celana dalam, maaf. Duh,
hampir nangis nih saya nulis ini. Tapi saya ga bisa nangis. Sebab sambil saya
nulis ini, saya sambil jagain si abang Kun (putra ketiga saya yang masih
berumur 1 tahun 1 bulan tadi), dan sesekali jawab-jawab sms dari TV dan dari
kawan-kawan pondok yang butuh koordinasi cepat. Kalau saya hanya menulis
tentang ini, niscaya saya sudah akan menangis.
Tapi
perjanjian itu saya iyakan saja. Saya ga mau mikir jauh. Yang penting bisa
keluar dulu, he he he. Cuma, saya pasang niat bener. Bahwa saya bener-bener
akan bayar.
Nah, saat
itulah saya bercanda sama Allah. Saya menikmati betul candaan itu. Deket sekali
terasa Allah itu. Dan memang Dia itu dekat.
Begini, kan
ketahuan tuh bahwa saya secara hitungan matematis ga bisa bayar? Bila saya ga
bisa bayar dalam satu bulan, maka saya harus menyerahkan diri lagi. Tapi
darimana nyari 86 juta dalam 1 bulan? Terutama dalam keadaan saya seperti itu?
Saat itulah, semua prinsip-prinsip dasar Wisatahati, dimulai dipraktekkan. Tapi
belum ditulis saat itu. Di antaranya: konsentrasi jangan di 86 juta. Tapi di
pencarian menuju Allah saja; nyari ridha-Nya, nyari ampunan-Nya. Untuk masalah?
Jangan dipikirin! Ntar stress sendiri. Sampe sini, kelihatannya ga adil ya?
Biar saja. Allah yang tahu hati saya. Sungguh, dengan cara begini, saya justru
sedang berikhtiar membayar 86 juta tersebut! Persis dalam waktu 1 bulan. Saya
ga tahu saya bisa bayar atau tidak. Tapi yang saya paham, Allah pasti bisa.
Jadi, ngapain juga saya pikirin, biar saja Allah yang mikirin! Gitu lah pikiran
saya. Biar saja Allah yang urus. Biar saja Allah yang akan menyiapkan sejumlah
uang tersebut. Dengan cara-cara-Nya. Bukan dengan cara-cara saya. Lalu apa yang
saya lakukan? Saya melakukan perbaikan dan perubahan di ibadah-ibadah saya
saja; shalat ditepat waktuin, shalat-shalat sunnah qabliyah ba’diyah, dhuha,
tahajjud, witir, baca al Qur’an, zikir, dipolin. Ikhtiar saya apa? Ya itu lah
ikhtiar saya. Kan susah loh menjaga rutinitas ibadah dalam keadaan puyeng? Iya
ga? Yang ngalamin ini yang bisa jawab dah.
Selebihnya,
saya menawarkan kepada Allah menjadi tentara-Nya. Saya ngajar sana sini, ngajar
al Qur’an, ngajar komputer, ngajar bahasa, ngajar madrasah, dan lain-lain.
Gaji-gaji dari kerjaan-kerjaan saya itu, saya polin buat Allah. Saya tahu ga
bakalan mungkin cukup kalau saya tabung. Jadi, saya ambil saja buat makan,
selebihnya tos-tosan saja buat Allah.
Hingga di
pertengahan bulan, saya megang uang nih, dari hasil jualan es dan jadi tukang
fotokopi. Besarnya 27.500 rupiah. Uang ini saya timang-timang. Saat itu
melintas di pikiran saya, mau bercanda sama Allah!
Saya datangi
sekolahan di belakang saya bekerja sebagai tukang fotokopi. Saya minta
dihadirkan satu anak yatim yang pintar untuk saya bayarin SPP nya bulan itu.
Dihadirkanlah satu anak yatim. Perempuan. Namanya Ummi. Saya katakan padanya,
bayaran sekolahnya, bulan ini, saya yang bayarin.
Habis saya
bayarin itu, saya gelar sajadah. Saya sujud. Saya katakan kepada Allah yang
bagi sebagian yang lain kalimatnya mungkin aneh. Tapi bagi saya, biar saja. Itu
ungkapan saking deketnya saya sama Allah. Kurang lebihnya, “Ya Allah, saya udah
bayarin tuh satu anak yatim SPP nya. Dan Engkau juga tahu, kalau bulan depan,
yang tinggal dua minggu lagi, saya ga bisa bayar hutang yang dibebankan kepada
saya, maka saya dipenjara lagi. Ya Allah, tinggal Engkau pilih dah. Kalau
Engkau masih tetap membiarkan saya bebas, dan ada waktu, maka saya terusin
bayarannya tuh anak yatim. Tapi kalau engga, ya saya bayarin lagi. Sebab ga
bisa bayar lagi emangnya”.
Habis itu
saya bangun dari sujud, dan segar rasanya. Saya yakin sekali Allah tidak akan
mengambil keputusan saya ditangkep lagi. Sebab tarohannya anak yatim. Saya
tertawa kecil, seraya meminta maaf kepada Allah.
Dua minggu
kemudian peristiwa yang saya sempat khawatirkan, tidak terjadi. Ya, saya boleh
sombong sedikit. Saya katakan, saya sempat khawatir saja, bukan khawatir. Sebab
apa? Sebab saya serahkan sepenuhnya kepada Allah. Kenapa saya harus khawatir.
Sudah dengar kan audio yang saya upload? Judulnya: Kenapa Harus Khawatir
Padahal Ada Allah? Ya, itulah yang terjadi sama saya.
Nah, karena
saya “lolos”, ya saya jalanin janji saya. Saat itu hutang tetap belum lunas.
Saya kemudian sadar, doa saya belum sempurna. Kali ini saya sempurnakan.
Saya datang
lagi ke sekolah tersebut, saya bayarin lagi SPP anak tersebut. Kemudian saya
balik lagi dan sujud, seraya mengatakan (kurang lebih), “Ya Allah, makasih.
Udah nolongin saya. Tapi saya hanya bebas doangan sementara. Sebab hutangnya
belum selesai. Ya Allah, saya akan tambahin dari sekarang, 1 SPP lagi untuk 1
anak yatim yang lain. Saya mohon kepada-Mu ya Allah, kali ini, dengan wasilah
amal ini, bayarkanlah hutang tersebut”.
Subhaanallah,
Allah rupanya juga bercanda bersama saya. Masalah itu insya Allah bergulir
sempurna penyelesaiannya. Dan tahu ga? Anak yatim kedua yang saya bayarin,
namanya Maemunah. Dan Maemunah ini beberapa bulan kemudian jadi istri saya!
Maemunah saat saya nikahi, masih duduk di bangku SMP kelas 3. Dan dia satu
sekolah dengan si Ummi tadi.
Secuplik
kisah-kisah saya, saya tebar di berbagai buku saya. Silahkan dikoleksi ya. Saya
bukan promosi, tapi sedang jualan, ha ha ha.
Ya sudahlah.
Inilah kisah saya. Saya anggap ini kisah perjalanan tauhid. Kisah perjalanan
saya mencari Tuhan. Mencari Tuhan yang hilang dari diri saya, dari hati saya.
Maka nya kelak kemudian kisah-kisah perjalanan saya diberi judul: Wisatahati
Mencari Tuhan Yang Hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar