@salimafillah
Karena beratnya pertanyaan "Kapan Lamaran?" ini dalam
jumpa-jumpa hari raya, mari kita mulai perbincangan dengan sabar.
“Hanyasanya orang-orang yang bersabar, disempurnakan pahalanya tanpa
batas.” (QS Az Zumar: 10)
Karena pahalanya tiada terhad, sabar seharusnya tak ada batasnya. Cuma
barangkali, bentuknya boleh dipilih.
Itu yang dipikirkan si pemuda pelamar ketika dikatakan padanya,
"Lamaran ini diterima. Tapi untuk pernikahan, mohon bersabar barang dua
atau tiga tahun lagi."
Setelah perjalanan melelahkan selama 6 jam, tersesat-sesat jalan
akibat peta yang sukar dibaca bukan buatan, membawa rombongan yang masih geleng
kepala sebab "Rumahnya saja belum tahu lha kok dipinang?", selembut
apapun nada jawaban itu rasanya bagai palu godam di dadanya yang kadung dibakar
semangat menyegerakan akad pengesahan.
Seorang uwaknya mencoba bertanya, mengapa harus sedemikian lama? Wakil
keluarga itu menjawab dalam canda yang santun, "Sebab belum genap setahun,
keluarga ini juga baru saja mantu. Rasanya tidak enak juga merepoti para
tetangga kok lebih dari sekali di tahun yang sama. Tentu juga, kami belum pulih
betul secara keuangan dari penyelenggaraan walimah sebelumnya, ha ha ha."
Hal seperti ini, memang haruslah amat dimengerti. Tapi hasrat hatinya
meyakinkan sekali, bahwa hukum menikah khusus baginya sudah dekat pada wajib
kiranya. Duhai, memang belum dinamakan cinta, tapi sudah begitu merisaukan
dada.
Maka dikerahkannyalah segenap kemampuan Bahasa Jawa Krama Halusnya.
Dicobanya menyusun kalimat sesantun mungkin, selembut mungkin, dengan
menekankan pengertian, penghargaan, serta penghormatan setinggi mungkin pada
keluarga ini.
"Nun nadhah duka saha nyadhong agunging pangaksami", begitu
pembukanya. Kalimat ini harfiahnya bermakna, "Saya siap menahan segala
rasa pedih dimurkai dan menghaturkan mohon ampun sebesar-besarnya."
"Sudah menjadi niat sesuai keadaan diri saya untuk segera
menikah", ujarnya menguat-nguatkan hati. "Belum menjadi soal bagi
saya, dengan siapanya. Saya yakin, jodoh sudah ditetapkan Allah. Maka jika yang
tertulis di sisiNya itu bukan putri dari keluarga ini, mohon izin dan mohon doa
restu Pak, kami segera pamit. Mudah-mudahan bahkan di perjalanan pulang nanti,
Allah karuniakan jalan untuk segera menikah, tidak perlu 2 atau 3 tahun
menanti. Saya juga mendoakan semoga putri Bapak mendapatkan yang lebih baik
insyaallah."
Ayah si pemuda melotot menatap putranya. Wajahnya seakan bicara,
"Kamu ngomong apa heh?" Ada pula tamu yang sedang minum jadi
tersedak, batuknya menjadi suara latar bagi keheningan yang membuat semua
saling pandang.
Sabar tak ada batasnya. Tapi bentuknya dapat dipilih.
Menunggu 2 atau 3 tahun adalah kesabaran. Tapi bagi si pemuda,
penantian itu amatlah berbahaya. Dua atau tiga tahun dengan calon yang telah
bernama dan di depan mata. Tipu daya syaithan memang lemah. Tapi ia sudah
berpengalaman bukan hanya sejak zan Fir'aun pakai behel, tapi sejak Adam dan
Hawa masih bermukim di surga.
Atau bagaimana jika ada ujian di sisi lain; bagaimana jika dalam masa
tunggu itu dia dipertemukan dengan sosok berbeda yang tampak lebih baik
daripada yang sudah dikhithbah? Bukankah hati akan bertambah runyam?
Maka kini, nothing to loose. Ditolak menikah sekarang, ditolak lamaran
yang bergegas, lalu harus mencari lagi yang lain yang bersedia digesa, adalah
juga kesabaran.
Puisi hati pertamanya tergumam lirih. "Aku bukan tak sabar. Hanya
tak ingin menanti. Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran. Karena
terkadang penantian, membuka pintu-pintu syaithan."
Beruntunglah mereka yang dikaruniai calon mertua dengan cara berfikir
out of the box.
Ketidakpatutan ucapan si pemuda dalam forum seterhormat lamaran yang
disaksikan puluhan mata, bagi si Bapak rupanya penanda bagi kekuatan tekad,
keluhuran niat, serta keterampilan berbudi bahasanya. Maka beliaupun justru
berfikir, "Ini makhluq langka. Patut dilestarikan."
"Ya, tidak begitu Mas. Tentu semua kemungkinan masih terbuka.
Insyaallah kami juga memandang, disegerakan lebih baik. Kapan kiranya yang
dikehendaki?"
"Dari Yogya ke sini, alhamdulillah saya sudah menghafal lafazh
ijab-qabul Bahasa Arab, Jawa, maupun Indonesia Pak. Insyaallah sekarang pun
siap."
"Wah, ya jangan sekarang. Kan perlu persiapan-persiapan ya."
Alhamdulillah, setelah sang Bapak bolak-balik ke belakang berunding
dengan istri dan putrinya, rupanya diplomasi ini sukses mengubah 2 atau 3 tahun
menjadi hanya 1 bulan. Lamaran ini terjadi pada 18 Juli 2004, pernikahanpun
disepakati akan dilaksanakan pada 20 Agustus 2004.
Si pemuda hingga hari ini masih heran, entah dulu dari mana dia
mendapat kekuatan untuk bicara seperti hari itu. Memang kalau sudah bertekad,
bertawakkal saja pada Allah. Dan cintanya memang berbeda.
"Ada dua pilihan ketika bertemu cinta. Jatuh cinta, ini sakit.
Atau bangun cinta, ini sulit. Padamu aku memilih yang kedua, agar cinta kita
menjadi bangunan istana, tinggi menggapai surga."
(Foto: mengantar pernikahan seorang sahabat sekira 2008: rupanya patut
pula saya memakai Tanjak Plembang. Cerita lamaran akan bersambung dari sudut
pandang si gadis insyaallah.) — di Masjid Al Ikhlas Semin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar