@salimafillah
Tidak. Kita tak sedang membahas pertanyaan yang sering muncul di
seputar Lebaran. Tulisan ini hanya saran kepada para bujang, semoga mereka
berkenan menjadikannya pertimbangan.
Banyak pria yang menunggu mapan untuk mulai berrumahtangga. Tapi saya
amati, mereka yang menikah di waktu mapan akan dipertemukan Allah dengan
pasangan yang memang siapnya untuk mapan. Dari mereka juga akan hadir anak-anak
dalam suasana mapan, dibesarkan dalam kemapanan, dan hanya siap tumbuh menjadi
generasi mapan.
Hanya sedikit yang memulai pernikahan dengan kemapanan, lalu dapat
menyuasanakan rumahtangganya dengan semangat perjuangan.
Pentingkah rumahtangga yang disesaki ruh perjuangan itu? Barangkali
saya terlalu melankolis, tapi rumahtangga para Nabi dan Rasul 'Alaihimus
Shalatu was Salaam yang kita baca dalam Al Quran lebih sering mencerminkan itu.
Ibrahim yang hidup berpindah-pindah dan sering berpisah. Yusuf yang direnggut
dari kasih oleh dengki dan mengalami lika-liku ngeri. Musa yang dibuang agar
selamat tanpa kisah tentang Ayah. Muhammad yang yatim lagi piatu, diasuh paman
yang hidupnya miskin dan tertungkus lumus di antara debu.
Rumah yang dinyalai ruh perjuangan adalah kebun subur bagi tumbuhnya
manusia agung.
Jadi mengapa kita tak mencoba menikah di kala semua tampak jelas bagi
iman meski masih remang bagi mata, hidup dalam yakin pada Allah meski diragukan
manusia, serta dalam keadaan tetap bekerja meski pekerjaan tak tetap? Bersama
itu ada wajah culun, penampilan bosah-baseh, kesibukan yang tak memberi waktu
bersantai, dan hidup pas-pasan.
Calon pasangan yang berani mengiyakan lamaran kita di saat seperti
itu, pastilah seorang pejuang.
Memang tiap kita diberi ujian. Yang tampan, terkenal, kaya; pasti jauh
lebih rumit baginya mendapat pasangan yang mau mendampinginya karena Allah.
Bukan karena ketampanannya. Bukan karena kemasyhurannya. Bukan karena
kekayaannya.
Tiap hal yang menonjol, selalu lebih kuat potensinya untuk membiaskan
niat.
Maka bersegeralah wahai bujang-bujang miskin, sebab Allah menjanjikan
kecukupan dalam pernikahan. Maka bergegaslah wahai bujang-bujang tak mapan,
sebab Allah kan menyediakan pasangan pejuang bagi para pejuang.
Suatu hari ketika pasangan pejuang itu menikah, berkatalah sang suami
pada istrinya, "Maaf ya, belum bisa membelikan rumah. Ini kontrakannya
juga kecil dan mesti lewat gang sempit."
"Tidak apa Sayang. Punya rumah itu tidak wajib kok."
"Oh iya ya? He he.."
"Iya, yang wajib itu shalat, hi hi.."
"Iya ya, yang wajib itu shalat. Terus memangnya kamu nggak ingin
punya rumah, Sayang?"
"Mau banget banget banget, Sayang. Tapi yang penting rumah di
surga. Kalau di dunia, meski pindah-pindah sewa, asal bersamamu aku rela."
"Aduh Sayang, andai semua istri seperti kamu adanya, apalah
gunanya ada KPK."
Dan rumah mereka lalu tumbuh meluas atas karunia Allah, sebab puluhan
anak-anak tetangga pun terundang untuk belajar, mengaji, menghafal Quran,
membaca, dan berkarya di tiap sorenya.
Foto ini diambil beberapa bulan sebelum pernikahan saya. Hitamnya
kulit karena terpanggang mentari dalam demonstrasi, kurusnya badan karena
banyak pikiran tanpa ada tempat melabuh keluhan, dan wajah pucat yang kini
telah berbeda karena ada yang merawat. Special tags untuk para ganteng, kaya,
dan terkenal, para Adindaku; @hamas.syahid, @masaji_, @ananditodwis, @zaky_zr.
Meski tak mudah, temukan pasangan pejuang ya.
— di jl.cuwiri jogokariyan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar