Satu teriakan perlawanan, bukan ketakutan Satu suara dalam kegelapan,
satu ketukan pada pintu Dan sebuah dunia yang menggemakannya bertalu-talu
-Henry Wardsworth Longfellow, Revere-
Tidak pernah terjadi dalam sejarah, para panglima pasukan musuh,
seluruhnya masuk ke dalam agama penakluknya. Kecuali peristiwa yang indah itu;
Fathul Makkah. Dan wanita ini ambil bagian dalam kancah itu, dengan sebuah
perjalanan yang sulit, dengan cinta yang rumit, dengan mengalahkan dendam yang
pahit. Namanya Ummu Hakim binti Al Harits. Di lahir, tumbuh, dan merenda masa
depan di tengah keluarga yang paling dahsyat permusuhannya terhadap da’wah
Rasulullah, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Ayahnya, Harits ibn Hisyam, hingga
ajal menjemput tak henti memusuhi Sang Nabi. Paman, sekaligus mertuanya adalah
Abu Jahl ibn Hisyam, Fir’aun-nya ummat ini. Dan harus kita sebut nama suaminya,
‘Ikrimah ibn Abi Jahl, panglima Makkah yang paling ganas dan ditakuti setelah
Khalid ibn Al Walid.
Hari itu adalah hari takluknya Makkah. Nama suaminya berada di deret
atas daftar pencarian pasukan Rasulullah. Untuk dibunuh. Karena permusuhan
sengitnya yang tak kunjung henti, karena keganasannya dalam menyiksa kaum
beriman. Juga demi pemusnahan dendam kesumat dan darah kejahatan yang mengalir
dalam dirinya; darah Abu Jahl. Sebuah nama yang mendenging di telinga kaum
muslimin sebagai pembantai orang beriman, penganiaya mukmin lemah, pengobar
kebencian, permusuhan, dan peperangan. Dia berharap hari itu suaminya akan
memenuhi ajakan Khalid ibn Al Walid yang membawa pesan padanya, ”Masuklah
Islam, engkau akan selamat!” Ya, masuk Islam saja. Atau setidaknya
berpura-pura. Tapi jawaban ’Ikrimah sungguh menggiriskan hatinya. ”Andaikan di
muka bumi ini tak tersisa lagi selain diriku, aku tetap takkan mengikuti
Muhammad selama-lamanya!” Keras kepala! Keras kepala! Persis seperti ayahnya
yang memilih kehancuran daripada kebenaran ketika berdoa, ”Ya Allah jika apa
yang dibawa Muhammad itu memang benar dari sisiMu, hujani saja kami dengan batu
dari langit!”
Detik itu juga Ummu Hakim menyaksikan suaminya berkemas. Ia tak
bertanya. Ia akan tahu nanti bahwa lelaki yang dicintainya itu pergi ke Yaman.
Kini hatinya yang dirundung duka, dendam, dan lara itu itu harus ditata lebih
dahulu. Mari kita bayangkan seorang wanita yang tumbuh di tengah ayah, mertua,
suami dan keluarga besar yang paling sengit memerangi da’wah. Mencaci-maki
Muhammad dan mencelanya sudah bagai ritual agama dalam rumahtangga dan keluarga
besarnya. Tentu ada dua kemungkinan tentang jiwanya sejak lama.
Pertama, jika ia bersimpati pada Muhammad dan diam-diam beriman, atau
setidaknya mendukung dalam hati. Tentu masa berpuluh tahun ini bukan masa yang
mudah untuk dilaluinya. Ia harus menyembunyikan perasaan kagum dan dukungannya
dari seluruh keluarga yang kompak menyanyikan koor permusuhan. Pahit sekali.
Pahit sekali mendengar lelaki berakhlaq mulia, yang datang dengan segala
kebaikan bagi Quraisy itu dihina dan direndahkan di telinganya. Atau kadang
mungkin ia ditegur, ”Mengapa kau tak ikut mencela Muhammad?”
Atau kemungkinan kedua. Bahwa ia tak beda dengan suami, ayah, mertua
atau pamannya. Seorang yang tumbuh dengan kebencian tak terperikan pada Islam.
Pada Muhammad. Maka saat yang paling sulit dan rumit itu adalah sekarang.
Ketika mertuanya yang perkasa, Abu Jahl telah lama gugur di Badar dengan
meninggalkan luka di hati suaminya, dan di hatinya. Luka itu belum kering.
Dendam itu masih menyala. Kini, ketika Muhammad datang bersama sepuluh ribu
bala tentaranya. Ketika seluruh wangsa Quraisy harus tertunduk malu kepadanya
di depan Ka’bah. Si yatim, si miskin, si santun itu kini memegang kendali nasib
mereka. Maka, bagaimanakah perasaannya?
_ia telah mengalami apa yang mungkin dialami bumi ini di saat ia
terburai memanjang oleh mata bajak sehingga bulir-bulir gandum bisa disemaikan_
-Victor Hugo, Les Miserables-
Kita tak tahu keterangan pasti, bagaimana sebenarnya keadaan hatinya
sejak semula. Yang jelas, saat ini dia aka
[In reply to Salim A Fillah - Quotes Telegram]
n melakukan sebuah hal besar yang melampaui segala perasaan itu.
Hatinya yang kukuh –mungkin khas klan Bani Makhzum- menggerakkannya untuk
menemui Rasulullah. Dan di hadapan beliau dia meminta satu hal yang menurut
perkiraannya tak mungkin dipenuhi. Jaminan keamanan dari beliau Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam untuk suaminya. Sepertinya tak mungkin. Tapi apa salahnya
berharap pada Allah Yang Maha Kuasa tentang seorang yang begitu damai
memberikan pengampunan umum atas Quraisy hari itu.
Muhammad seorang pemaaf, bukan pendendam. Meski suaminya ada di daftar
atas para buronan, apa salahnya mencoba? Dan Rasulullah memang menjawab, ”Ya.”
Bahkan Ummu Hakim pun terkejut menyaksikan begitu mudahnya jawaban itu keluar
dari bibir sang manusia mulia. Dan diiringi senyum yang sangat manis, sangat
damai. Tiba-tiba tubuhnya serasa ringan, hatinya lapang. Ia kini tak ragu bahwa
Islam adalah pilihan hidup untuknya, dan untuk suaminya. ”Ah..”, gumam Ummu
Hakim. Tapi ini baru langkah pertama. Meminta kepada Rasulullah jauh lebih
mudah daripada membujuk suaminya. Dan untuk menemui lelaki itu pun bukan hal
ringan. Ke Yaman. Ke Yaman yang jauh dengan perjalanan berbahaya, melintasi
gurun kosong yang tak aman dari hewan buas dan manusia beringas. Ke sana ia
harus menuju, menyusul lelaki gagah yang keras hati itu. Berbahagialah mereka
yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah.. ♥️♥️♥️
“Saya menemukan satu jenis hasil ekskresi yang tidak menimbulkan rasa
jijik”, tulis Kazuo Murakami dalam The Divine Message of The DNA. Ya, sekawan
ia dengan keringat, urine, lendir, juga –maaf- tinja. Tetapi apa yang kita
rasakan saat melihat yang satu ini; air mata? Sangat berbeda dengan yang lain.
Kilaunya justru memukau. “Walau saya tak mengerti”, kata Murakami, “Bagaimana
emosi kita terinspirasi dalam benak, saya tahu bahwa saat saya tergerak hingga
menangis, hati saya terasa dibersihkan dan tidak ada tempat lagi di dalamnya
bagi kebencian maupun kemarahan.”
Dan itulah yang terjadi pada ’Ikrimah. Dia juga tak dapat menahan air
mata, melihat kilau-kemilau di mata isterinya. Ia memang hanya setengah percaya
pada pesan yang dibawa wanita tegar ini. Muhammad mengampuninya? Agak sulit
menerima itu. Ia hanya setengah percaya pada pesan ini. Tapi ia sepenuhnya
percaya pada selaksa kesulitan yang ditempuh Ummu Hakim untuk bisa menemuinya
di Yaman. Ia percaya pada ketulusan wanita ini. Ia percaya pada cintanya. Ia
tergerak di titik balik kehidupan, ketika semua yang dimilikinya terasa
berantakan. Berbahagialah mereka yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah..
Nun di Makkah sana, Sang Nabi tiba-tiba bersabda kepada
shahabat-shahabatnya. ”Sebentar lagi ’Ikrimah ibn Abi Jahl akan datang ke
tengah kita sebagai seorang mukmin yang berhijrah”, katanya, ”Maka kuminta
kepada kalian untuk menghentikan semua celaan dan cacian kepada ayahnya!” Ya,
mencaci dan mencela Abu Jahl selama ini seolah telah menjadi bagian dari
kehidupan seorang muslim. Tak pernah ada sesosok manusia yang kebengisannya
kepada da’wah melebihi Abu Jahl, dan tak pernah ada sesosok manusia yang
dibenci melebihi dirinya. Tapi kini Sang Nabi, yang pernah dijeratnya dengan
selendang, yang pernah ditimpuknya dengan isi perut unta, yang berkali-kali
nyaris dibunuhnya meminta mereka untuk menyambut putera si musuh Allah dengan
cinta sebagai saudara seiman. Tidak membenci, mungkin. Tapi mencintai?
Memaafkan, mungkin. Tapi melupakan? Di luar dugaan para shahabat, Sang
Nabi memberi mereka pelajaran lebih jauh. Sosok agung itu melompat dari
duduknya, bergegas maju menyambut, menjabat, dan memeluk ’Ikrimah! Sementara
putera musuh Allah itu terbengong takjub. ”Ya Muhammad! Aku mendengar dari
wanita ini bahwa engkau memberikan jaminan keamanan untukku. Benarkah itu?”
Ah.. dengarlah, dia masih menyebut isterinya dengan ’wanita ini’. Dan bahkan ia
menanyakan jaminan keamanan terlebih dahulu sebelum menyatakan diri berislam.
”Benar. Engkau aman wahai ’Ikrimah..” Maka ’Ikrimah pun masuk Islam, berislam
dengan sempurna, dan menebus dirinya kepada Allah dengan syahid di Perang
Yamamah. Dan tahukah kalian para shahabatku
[In reply to Salim A Fillah - Quotes Telegram]
di jalan cinta para pejuang, bahwa baru sejak saat itulah, sejak
suaminya masuk Islam Ummu Hakim merasa cintanya pada suami berbalas ketulusan
yang sama?
Berbahagialah mereka yang digerakkan oleh cinta kepada hidayah.
Berbahagialah ’Ikrimah yang digerakkan cinta kepada hidayah. Berbahagialah Ummu
Hakim yang digerakkan hidayah kepada cinta..
Di jalan cinta pejuang, bahkan hal kecil seperti air mata yang bening,
bisa menjadi sebuah gairah yang menggerakkan manusia, mengubah dunia..
_Kalau cinta sudah terurai jadi laku, cinta itu sempurna seperti pohon
iman; akarnya terhunjam dalam hati, batangnya tegak dalam kata, buahnya
menjumbai dalam laku._
-M. Anis Matta-
-Salim A. Fillah, Jalan Cinta Para Pejuang 205-211-
..diposting atas permintaan seorang Akh; dalam rangka berbaiksangka
atas sebuah narasi besar bernama REKONSILIASI..
#JCPP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar