@salimafillah
Selain Sang Nabi , kita tak harus selalu setuju pada seseorang, tapi
kitapun senantiasa dapat mengambil pelajaran darinya.
Hal ini berlaku juga pada 'alim yang banyak dipuji namun juga punya
pencaci, Taqiyyuddin ibn Taimiyah, rahimahullah. Memanglah beliau manusia,
semestinya punya pendukung, dan wajar pula ada yang tak suka.
"Syaikhul Islam, semoga Allah merahmatinya", demikian Ibn
Qayyim sang murid kesayangan bertutur, "Amat kami cintai. Tapi kebenaran
lebih besar haknya untuk dicinta daripada beliau."
Para 'ulama panutan yang datang kemudian, antara lain Imam Adz Dzahabi
yang juga muridnya sendiri, Ibn Rajab Al Hanbali, hingga Imam Ibn Hajar Al
'Asqalani telah menyampaikan catatan tentang beliau. Ini utamanya tentang
ternisbatkannya faham tajsim dan terlalu menggebunya beliau membantah kaum
Rafidhah yang mengesankannya jatuh ke kutub seberang; mencederai martabat Ahli
Bait Rasulillah dalam kitabnya, Minhajus Sunnah fi Naqdhi Kalamisy Syi’ah wal
Qadariyyah.
Entah karena tajamnya lisan-tulisan serta kurangnya penghargaan beliau
pada para 'ulama pendahulu, atau bersebab dengki dari sebagian 'alim lain, dan
atau paduan keduanya, membuat mahaguru ini berulangkali dipenjara dan menjalani
hukuman para Sultan.
Menakjubkannya, tiap kali pula, di sela penjerujian itu, dia berangkat
berjihad dengan gagah dan gigih di bawah panji penguasa yang menghukumnya.
Maka selain kerasnya pendirian dan tajamnya hujjah sang syaikh pada
para lawan, perlu kita simak satu kisah langka yang dituturkan lagi oleh Ibn
Qayyim Al Jauziyah.
Pada suatu hari, wafatlah salah seorang 'alim yang dengan fatwa dan
aduannya beberapa kali membuat Ibn Taimiyah dipenjara. Maka Ibn Qayyim dengan
lugu berkata, "Berbahagialah wahai guru, telah binasa musuhmu itu."
Tetiba sang guru bangkit dan berkata, "Ayo ikut aku!"
"Ke mana?", tanya Ibn Qayyim.
"Ke mana lagi? Tentu saja mengurus jenazahnya."
Dan dengan penuh kesungguhan Ibn Taimiyah memandikan, mengafani,
menshalati, dan turut menguburkan orang yang pernah membuatnya sengsara itu.
"Kita pulang Syaikh?", ujar Ibn Qayyim di kala semua usai.
"Belum. Ada satu urusan lagi."
Ternyata, sang guru mengajaknya kembali ke rumah si mati, lalu
berbicara dan menghibur keluarganya. Kepada mereka dia sampaikan santunan
nafkah sembari berkata, "Mulai sekarang, jika kalian memiliki hajat dan
keperluan sampaikanlah kepadaku. Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk memenuhi
semua."
Di balik perseteruannya dengan nyaris semua pemuka madzhab pada
zamannya, dia punya kemampuan membalas hal buruk dengan kebajikan. Dan
pantaslah kalau dia pernah berkata, "Apa yang dilakukan musuh padaku?
Jiwaku bebas merdeka. Dipenjara adalah rehatnya. Dibuang ke negeri jauh adalah
tamasya. Dan dibunuh adalah bertemu Kekasih Tercinta."
Duhai, perilaku dan kata-kata itu pasti bersandar sebuah jiwa yang
kukuh. Dari mana kekuatannya?
Adalah lelaki 'alim dari Harran yang tak sempat berrumahtangga ini
selalu duduk di Masjid seusai shubuh untuk berdzikir, hingga mentari muncul dan
waktu dhuha bermula. Itulah duduk senilai ziarah suci, dan itulah duduk yang
lebih baik dari dunia beserta isi.
"Allahumma barik li ummati fi bukuriha", pinta Rasulullah .
"Ya Allah, limpahkan berkah bagi ummatku pada pagi-pagi mereka."
Inilah pagi jelita dalam i'tikaf di @masjidjogokariyan, hasil jepretan
@yushnasept.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar