@salimafillah
Namanya Muhammad ibn ‘Ali. Tapi orang akan lebih mengangguk tanda
kenal jika disebut nama Muhammad ibn Al Hanafiyah. Dia dinisbatkan pada ibunya,
seorang wanita dari Bani Hanifah.
Ya, ayahandanya adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, radhiyallaahu ‘anhu. Tapi
ibundanya bukanlah Fathimah. Artinya, dia bukan berasal dari garis turun
langsung Sang Nabi ﷺ.
Satu saat seseorang mempermasalahkan pembedaan yang dilakukan atas
dirinya dibanding kedua kakandanya, Al Hasan dan Al Husain. “Tidakkah kau
lihat”, kata orang itu, “Ayahmu lebih mencintai Al Hasan dan Al Husain
dibanding dirimu?”
“Duh, jangan katakan begitu kawan!”, jawabnya kalem. “Al Hasan dan Al
Husain bagaikan dua mata bagi ayahku. Sedang aku ini bagaikan kedua tangannya.”
Senyumnya mengembang, manis sekali. “Adalah tugas kedua tangan”, lanjutnya,
“Untuk menjaga kedua mata.”
Dan memang begitulah kehidupannya, diabdikan untuk menjaga kedua
kakandanya hingga batas waktu yang telah Allah tetapkan. Hingga, Al Hasan wafat
dan Al Husain pun gugur dalam kisah yang terlalu pedih untuk kita ceritakan.
Dendamkah Muhammad ibn Al Hanafiyah pada wangsa besar yang telah
menzhalimi keluarganya itu; Bani Umayyah? Secara manusiawi tentu jawabnya ya.
Apalagi jika dia mendengar para Amirnya, di sebagian khuthbah Jumatpun masih
tega mencaci Sayyidina 'Ali.
Tetapi orang-orang kemudian tertakjub ketika ia memenuhi panggilan
jihad ke Konstantinopel yang diserukan oleh Yazid ibn Mu’awiyah, orang yang
seharusnya paling bertanggungjawab atas pembantaian Al Husain sekeluarga.
“Layakkah orang seperti itu ditaati?”, tanya orang-orang.
“Memangnya ada apa dengannya?”
“Dia meninggalkan shalat, meminum khamr, dan jauh dari hukum Allah!”
“Aku tidak melihat itu ketika bersama dengannya. Dia menunaikan
shalat, cenderung pada kebajikan, dan bertanya tentang Al Quran juga sunnah
RasulNya.”
“Dia hanya berpura-pura di hadapanmu!”
“Apakah yang ditakutkannya atasku hingga harus berpura-pura? Dan jika
kalian memang melihatnya melakukan semua itu, mengapa dia tidak berpura-pura
pada kalian? Apakah kalian semua ini sahabatnya yang ingin menjebakku?”
Mereka terdiam. Saling pandang. Lalu berkata lagi, “Bukankah Bani
Umayyah yang telah menzhalimi keluargamu hingga binasa dan curas? Apa yang akan
kau katakan di hadapan Allah dan di hadapan ayahmu, juga saudara-saudaramu,
jika kini kau berperang di bawah panji-panji Bani Umayyah?”
Muhammad ibn Al Hanafiyah tersenyum. “Ayahku kini membersamai
Rasulullah di surga tertinggi, sementara saudara-saudaraku adalah penghulu para
pemuda di sana. Kezhaliman Bani Umayyah adalah urusan mereka dengan Allah.
Urusanku kini adalah berjihad di jalan Allah dan mentaati Ulil Amri.”
Begitulah. Tak mudah menjadi seorang Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ada
kendala-kendala, ada batas-batas yang membuatnya terhalang untuk memberikan
pengabdian. Batas-batas itu bukan hanya ada di dataran raga, tapi jauh di sana,
di dalam jiwanya. Dan kini jiwanya menari di atas batas, merayakan pengabdian
yang sepanjang hidup ia tujukan untuk Allah.
Memaknai batas kadang memberi kita permakluman untuk mengambil ‘udzur.
Selalu ada pembenaran atas setiap langkah mundur yang kita ambil. Selalu ada
alasan untuk berlama-lama di tiap perhentian yang kita singgahi.
Tetapi di jalan cinta para pejuang, para ksatria agung itu bertanya
pada hati. Dan mereka menemukan jawab yang membuat jiwa menari di atas batas,
meski jasad harus bersipayah mengimbanginya.
‘Amr ibn Al Jamuh, lelaki pincang dari Bani An Najjar itu diminta
rehat ketika hari Uhud tiba. “Dengan kaki pincangku inilah”, katanya, “Aku akan
melangkah ke surga!” Jiwanya menari di atas batas, dan Sang Nabi di hari Uhud
bersaksi, “Ia kini telah berada di antara para bidadari, dengan kaki yang utuh
tak pincang lagi!”
Dengan nikmat Allah yang begitu besar atas jiwa dan raga ini, apa yang
harus kita katakan pada ‘Amr ibn Al Jamuh, Ahmad Yassin, dan orang-orang
semisal mereka saat kita disaput diam dan santai?
Dengan kemudaan ini, berkacalah kita pada Abu Ayyub Al Anshari yang di
usia delapan puluh tahunnya bergegas-gegas ke Kons
tantinopel, menjadikan pedangnya sebagai tongkat penyangga tubuh
sepanjang jalan. Dan apa jawab kita saat kita ingatkan bahwa dia punya ‘udzur,
tapi justru dia bertanya, “Tidak tahukah engkau Nak, bahwa ‘udzur telah dihapus
dengan firmanNya, ‘Berangkatlah dalam keadaan ringan maupun berat!’?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar