@salimafillah
Ini juga bukan tentang pertanyaan pelik dari handai taulan di saat
silatil arham. Ini hanya kisah seorang pemuda 20 tahun yang merasa yakin pada
pilihan, meski "nekad" barangkali adalah kata yang lebih tepat.
Dia bertemu calon istrinya pertama kali pada 8 Juli 2004 di rumah
seorang Ustadz. Ya, sebab ketakpercayaan diri untuk berikhtiar mandiri, dia
percayakan urusan "siapa" pada Allah dan serta guru yang dipandang
mumpuni, barangkali agar lebih fokus mempersiapkan "bagaimana".
"Mau calon yang kriterianya seperti apa?", tanya sang Ustadz
tempo hari.
"Yang shalihah dan menshalihkan", jawabnya.
"Bagus. Tapi abstrak. Bisa agak konkret sedikit?"
"Emm.. Yang punya sedikitnya 3 kelompok binaan pengajian?"
"OK. Mantap. Baarakallaahu fiik."
Lalu tak lama, diapun telah memegang beberapa lembar biodata. Dia
telah tahu nama, orang tua, saudara, pendidikan, tinggi dan berat badan,
aktivitas, hobi, tradisi keluarga, hingga penyakit yang pernah diderita. Dan
hari untuk berjumpa dan melihatnya pun tiba
. ﺑَﻴْﻨَﻜُﻤَﺎ َ ﻳُﺆْدَم ْ أَن أَﺣْﺮَى ُ ﻓَﺈِﻧﱠﻪ ، إِﻟَﻴْﻬَﺎ ْ اﻧْﻈُﺮ
“Lihatlah wanita yang akan kaunikahi itu, karena yang demikian lebih
mungkin melanggengkan hubungan di antara kalian berdua.” (HR. An Nasa'i/3235,
At Tirmidzi/1087. Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah/96)
Nasehat Rasulullah untuk Al Mughirah ibn Syu'bah ini sebenarnya hendak
dia 'amalkan segera. Ketika membaca bahwa gadis itu bekerja paruh waktu di sela
kuliah sebagai Asisten Apoteker, diapun mencoba untuk mengamatinya. Kali itu
dengan cara sembunyi-sembun yi seperti Sayyidina Jabir diajari Sang Nabi.
Belanja ke Apotek dimaksud, dibelinya multivitamin seharga 18 ribu.
Tapi ternyata AA tugasnya di belakang, meracik obat, bukan melayani pembeli.
Nazhar pertama seharga 18 ribu itu gagal total.
Maka di pertemuan 8 Juli itu diniatkanlah untuk melihat. Namun apa
daya, ternyata sepanjang pertemuan tak banyak kata, dan pemuda ini
terus-menerus menundukkan kepala, sama sekali tak berani menatap langsung pada
gadis yang ada di hadapannya.
Untunglah meja ruang tamu itu terbuat dari kaca. Bening sekali.
Baru pada pertemuan kedua pada 12 Juli, dengan dimoderatori pasangan
Ustadz dan sang istri, terjadilah diskusi. Pertanyaan, "Visi misi
pernikahan menurut Anda?", "Bagaimana konsep pendidikan anak yang
tepat?", "Apa pandangan Anda tentang istri yang berkarier?",
"Seperti apa proyeksi nafkah nantinya?", "Bagaimana pendapat
Anda tentang homeschooling?", "Rencana tempat tinggal dan
penataannya?", diberondongkan dengan lebih mengerikan daripada ujian
pendadaran.
Tapi endingnya adalah pengakuan.
"Maaf, saya tidak bisa memasak."
Si pemuda bergumam dalam hati, "Ya Allah aku kemarin minta yang
shalihah dan menshalihkan. Mengingati Ibunda 'Aisyah, rupanya pandai memasak
belum termasuk di situ. Ya Allah apakah Kau menguji kesungguhan
kriteriaku?" Lalu dia kuatkan hati, "Tidak apa Ukhti. Di kota ini
banyak rumah makan. Murah-murah lagi."
"Saya juga tidak terbiasa mencuci."
"Alamak", batin hati si pemuda. Tapi mengingat hal yang
sama, dia berkata lagi, "Tidak apa Ukhti. Di kota ini banyak laundry.
Kiloan lagi."
"Saya bukan mencari tukang masak dan tukang cuci. Melainkan
seorang istri. Kalau diperkenankan, saya akan segera menghadap pada Ayah
Anda." Maka hari itu, tanggal lamaran pun ditetapkan pada enam hari
kemudian, tepatnya 18 Juli.
Kisahnya akan bersambung dalam tulisan "Kapan Melamar?" yang
akan datang insyaallah. Sementara itu, pertanyaannya: mengapa pacaran tak
memberi kita perkenalan sejati? Karena kita selalu ingin tampil lebih demi
memikat hati. Lalu ketika dua hati telah terikat janji, mental set "beri
penawaran terbaik" tak diperlukan lagi.
Maka dalam konseling pernikahan, keluhan pasutri yang memukadimahi
rumahtangga dengan pacaran biasanya berbunyi, "Tolong Ustadz.. Suami saya
sudah kelihatan aslinya."
Nah bagaimana saling mengenal yang hakiki? Ta'aruf itu istilah umum.
Dalam Al Quran, ia adalah hikmah diciptakannya kita bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa. Jadi, kapan ta'arufnya suami-istri?
Ta'aruf itu seumur hidup. Sebab m
anusia adalah makhluq penuh dinamika. Dia sedetik lalu takkan persis
serupa dengan kini adanya. Ta'aruf itu seumur hidup. Sebab kenal sejati adalah
saat bergandengtangan dalam surgaNya.
Dua belas tahun berta'aruf, pemuda itu masih terus belajar mengenal
istrinya. Dan selalu ada kejutan ketika prasangka baik dikedepankan. Misalnya,
si dia yang mengaku tak bisa memasak itu, pada HUT RI ke-60 setahun kemudian,
menjadi juara lomba masak Agustusan. Tingkat RT. Lumayan bukan?
Foto sekitar tahun 2003; sejak dulu saya paling tak sadar kamera dan
sibuk membaca. Alamak macam mana pula. — di Desa Srikayangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar