@salimafillah
"Ada 3
orang yang amat tekun beribadah di Masjid pada masa kekhalifahan Sayyidina
'Umar, Radhiyallahu 'Anh", tutur Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi mengutip
Ibn Katsir dalam Al Fiqhul Iqtishadi li Amiril Mukminin 'Umar ibn Al Khaththab.
Kepada orang
pertama Khalifah bertanya, "Apa yang kaulakukan di sini wahai hamba
Allah?"
Orang itu
menjawab, "Beribadah, sebagaimana kaulihat wahai Amirul Mukminin."
"Lalu
siapa yang menanggung nafkahmu dan keluargamu?"
"Janganlah
engkau mengkhawatirkanku wahai Amirul Mukminin", ujarnya sambil tersenyum,
"Kami ada dalam jaminan Dzat Yang Maha Kaya lagi Maha Pemberi."
Maka
Sayyidina 'Umar beralih pada orang kedua dan bertanya hal yang sama.
"Aku
dan saudaraku berbagi tugas", ujar orang ini. "Dia bekerja di pasar
sementara aku memperbanyak ibadah dan mendoakannya. Kami berserikat dalam hasil
perniagaannya."
Sayyidina
'Umar tertawa dan bertitah, "Demi Allah, saudaramu itu lebih ahli ibadah
dengan apa yang dikerjakannya dibanding dirimu." Kemudian beliau beralih
pada orang ketiga.
"Seperti
kaulihat hai Amirul Mukminin", katanya, "Aku beribadah di sini. Dan
ada saja hamba Allah yang berbaik hati mencukupi keperluanku."
Orang ketiga
ini ditendang oleh Sayyidina 'Umar keluar dari Masjid dan kepadanya diberikan
tongkat beserta alat. "Demi Allah", bentak beliau, "Berkeringat
untuk bekerja dan merasakan lelahnya itu jauh lebih baik daripada engkau duduk
di rumah Allah tapi hatimu berharap pada pemberian manusia."
Rizqi itu
jaminan Allah. Bekerja adalah ibadah kepada Allah dan kehormatan di mata
manusia.
Maka Dr.
Jaribah sampai menyimpulkan, Sayyidina 'Umar menghendaki semua muslimin aktif
dan produktif meski tanpa bekerjapun mereka berkecukupan. Orang Quraisy yang
tidak terjun berniaga dihardik keras. Modal tidak boleh berhenti. Lahan yang
tidak ditanami 2 musim berturut bisa disita negara dan ditawarkan pada yang
mampu menggarap. Bahkan harta-harta anak yatimpun dimudharabahkan agar tak
terkurang oleh zakat dalam haulnya.
Para bujang
shalih yang hendak menggegas bernikah dan bernafkah, segera mulailah. Pemuda
yang tempo hari kita bahas lamarannya, mengumpulkan tabungan dari beberapa jual
beli kecil, menggalang modal, dan membuka usaha fotokopi serta persewaan
pernak-pernik TKA/TPA/PAUD di awal kuliah.
Apakah
usahanya sukses?
Barangkali
ukuran suksesnya bukan dari berapa banyak pendapatannya perbulan. Melainkan
kesungguhannya, kelelahannya, keterhubungannya dengan beberapa orang adalah
ketukan di pintu Allah Sang Penggenggam Rizki. Lalu Allah membuka pintu lain
yang lebih besar daripada yang diketuknya.
Jika kita
bekerja, 'itqan, ditekuni sampai ahli, ihsan, dilakukan melampaui harapan pihak
yang menikmati hasil kerja itu; katakanlah kita punya kelayakan dibayar 1
milyar karena kesungguhan di sana, maka jika hanya 1 juta yang berbentuk uang
kita terima, yakinlah Allah akan membayar 999 juta lainnya dalam berbagai hal
tak terduga; istri shalihah, anak shalihin dan shalihat, kesehatan,
ketentraman, kemampuan untuk shalat di Masjid, kemampuan berpuasa, serta
beramal shalih lainnya.
Maka apatah
lagi bekerja ikhlas, yang pahalanya tak terhingga. Rizqi yang datang sesuai
jaminanNya pastilah berkah seberkah-berkahnya.
Tukang sapu
yang hanya menggumamkan UMR, barangkali memang mendapat sesuai gajinya. Tapi
tukang sapu yang hatinya bernyanyi, "Ya Allah, kubersihkan agar tak ada
yang terpeleset, tak ada yang tersandung.. Agar semua terlatih hidup bersih..
Agar orang faham kesucian adalah cabang keimanan.. Agar indah dan orang
memujiMu melihat keindahan..", siapakah yang mampu membayarnya selain
Allah?
Ayo bekerja
para bujang shalih, dan percayalah pada Allah melebihi percaya diri.
(Foto:
berbincang dengan rekan seusai saling menjamu sekira 2007, Allah bukakan pintu
rizki dengan banyak silatirrahmi. Kisah lobi-lobi dan nego-nego Mahar, Walimah,
serta Nafkah di bagian berikutnya insyaallah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar