@salimafillah
"Adalah Rasulullah ", demikian menurut Sayyidina 'Abdullah
ibn 'Abbas, "Melarang 'Ali mengumpuli Fathimah ketika dia menikahinya,
sampai dia memberikan mahar baginya."
"Aku tak punya apa-apa", ujar 'Ali.
"Di mana baju besi Huthamiyah milikmu itu?", tanya
Rasulullah .
Maka 'Alipun berrumahtangga dengan Fathimah dengan mahar senilai baju
besinya. Ketika beberapa orang Anshar menyumbangkan pernik perabotan rumah
kepadanya, Sang Nabi memerintahkannya untuk mengembalikan itu semua, sebab
keluarga beliau
shadaqah. Karena 'Ali menyatakan memerlukannya, maka beliau
memerintahkan agar ia dikembalikan sebagai hutang.
Sayyidina 'Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahan bukan dari nol.
Melainkan dari minus. Saya juga begitu.
Tidak berhutang meski pernikahan jadi sederhana dan walimah menjadi
bersahaja tentu jauh lebih utama. Tetapi ketika terpaksa menerima pinjaman,
maka niatkanlah pembayarannya dengan segera, rencanakanlah pengembaliannya
secermat mungkin, catat akadnya serapi mungkin, dan laksanakan sepenuhnya ayat
terpanjang dalam Al Quran, Surat Al Baqarah ayat 282.
Saya menghitung bahwa dengan rata-rata pendapatan saya ketika menikah,
maka hutang saya kepada seorang Abang dekat akan saya cicil dari penyisihan
penghasilan kira-kira selama 18 bulan. Menghitung seperti ini hendaknya
menafikan faktor-faktor yang terlalu spekulatif.
Tapi tetaplah yakin dan bersandar pada Allah. Sebab rizkiNya lebih
luas daripada pendapatan kita, karuniaNya lebih tak terhingga daripada
hitung-hitungan kita. Ternyata saat itu Allah mengaruniakan yang tak terduga,
dan hutang yang saya perkirakan 1,5 tahun baru lunas, ternyata dalam 1,5 bulan
telah tuntas.
Banyak yang mengira, pernikahan adalah pecahan matematika. Pendapatan
adalah pembilangnya dan jumlah anggota keluarga adalah penyebutnya. Maka
berrumahtangga dianggap membagi pendapatan yang sudah kecil ketika bujang,
menjadi lebih kecil lagi dengan bertambahnya istri dan anak.
Padahal setiap jiwa punya rizkinya, dan Rasulullah bersumpah bahwa
tiap jiwa itu takkan mati hingga Allah sempurnakan turunnya rizki padanya.
Padahal sebenarnya, hadirnya istri bukanlah penambah beban, melainkan
bertambahnya sumberdaya untuk mengatur berbagai perkara, termasuk keuangan.
Seorang manajer yang baik, -dan kadang galak-, telah hadir dalam hidupnya.
Inilah yang menjelaskan mengapa seringkali pengeluaran para bujang
lebih tak terkendali dibanding para suami. Sebab seringkali ketika bujang
melihat makanan enak dan tertarik, maka dia membelinya. Sedang suami yang
tergoda hidangan lezat akan bergumam, "Yang di rumah makan apa?"
Sebab seringkali ketika bujang melihat gadget baru keluar promonya,
dia ingin maka segera berbelanja. Sedang suami yang melihat hal sama akan
bicara pada hatinya, "Apa yang lebih diperlukan istri dan anak-anak dan
saya belum memenuhinya?"
Menjadi suami, dalam soal nafkah, kian melatih kita untuk membedakan,
mana yang merupakan keperluan, dan mana yang hanya keinginan.
(Foto: Rafting di Serayu. Kehidupan awal pasangan muda barangkali seperti
mengarungi jeram berarus kuat. Menakutkan? Kata yang lebih tepat adalah:
mengasyikkan. Posting berikutnya insyaallah: Kisah Malam Pertama.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar