@salimafillah
Bagaimanakah jika dakwah dilaksanakan tanpa fiqih dakwah?
Ustasz Zaitung Rasming, -demikiang pelafalang nama beliau menurut
sebagiang kawang dari Sulawesi-, punya cerita.
"Seorang da'i di negeri antah berantah", demikian tuturnya,
"Berhasil membawakan hidayah untuk objek dakwahnya. Masuk islamlah lelaki
itu dengan amat bersemangat. Kemudian berkatalah sang da'i kepadanya:
"Karena sekarang Anda sudah menjadi muslim, mari sebentar kita
pergi ke dokter bedah!"
"Hah, untuk apa kita ke dokter bedah?", tanya si muallaf.
"Sebagai seorang muslim, itunya harus dipotong."
"Itu apanya?"
"Itu yang bawah", kata sang da'i sambil memberi isyarat pada
kemaluannya.
"Hah?", seru si muallaf terpekik. "Ah, saya tidak mau
itu saya dipotong."
"Agama kita mengharuskan ini."
"Kalau begitu saya tidak jadi masuk agama Anda. Apa pula pakai
potong yang bawah segala. Saya batalkan niat saya semula. Saya keluar saja dari
agama Anda ini."
"Kalau Anda keluar", ujar si da'i dengan wajah prihatin,
"Maka yang harus dipotong adalah ini, karena Anda murtad." Da'i kita
ini memberi isyarat pada lehernya.
"Gila!", teriak si muallaf. "Agama macam apa ini? Masuk
potong bawah. Keluar potong atas."
Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin, Hafizhahullahu Ta'ala, barangkali tidak
berniat bercanda ketika menyampaikan kisah ini. Maka dari kepemimpinan beliau
di Wahdah Islamiyah yang baru saja dikukuhkan lagi dalam Muktamar III, kita
menyaksikan dakwah yang tertata dengan baik, penampilan yang asyik berterima,
prioritas yang tersusun rapi, sikap santun yang teguh kukuh, dan senyum yang
selalu terkembang.
Tahniah kepada beliau dan Wahdah dari kami, para penulis Pro-U Media
dalam jaulah silatil-arham kemarin. Abaikan salam 4 jarinya, karena tafsir
Ustadz Zaitun dengan Ustadz Fanni Rahman berbeda. Yang satu mengartikan tolak
pemimpin kufur korup, yang satu bercita soal jumlah teman hidup.
— di Pejaten, Pasar Minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar