@salimafillah
Suatu hari seorang tamu berkunjung pada Allahuyarham KH. Ahmad 'Umar
'Abdul Mannan, Mangkuyudan. Tamu ini akrab sekali mengajak berbincang,
membicarakan berbagai ihwal seakan dia dan tuan rumah sudah kenal lama.
Kyai 'Umar melayani dengan dhiyafah tuan rumah yang jauh lebih ramah
lagi, meski hati dan fikirannya terus bertanya dan mencari-cari, "Ini
siapa kiranya?" Beliau betul-betul lupa. Tapi beliau merasa, alangkah akan
merisikan hati kalau dalam obrolan semesra itu beliau bertanya, "Mohon
maaf, panjenengan siapa ya?"
Maka beliau sejenak pamit beringsut dari ruang tamu. Dipanggillah
seorang santri. "Ini ada tamu. Tampaknya kok kenal akrab sekali. Tapi aku
betul-betul lupa siapa. Coba kamu temui dan ajak kenalan agak keras agar aku
dengar dari sini."
Akhlaq 'ulama, indah sekali.
Itu pula yang kami, para penulis Pro-U Media rasakan ketika menziarahi
Allahuyahfazhuh KH Miftah Fariedl dalam jaulah silatil arham baru-baru ini.
Keakraban yang beliau tunjukkan dalam berbincang, serasa kami adalah anak-anak
beliau sendiri.
"Salah satu yang paling sering saya ceramahkan", tutur
beliau, "Adalah bahwa investasi jariyah yang paling penting di antaranya
adalah anak shalih yang mau mendoakan orangtuanya. Dan ketika sakit serta koma
kemarin saya merasakan, bagaimana kehadiran anak saya membisikkan doa di
telinga dengan air matanya jatuh membasahi wajah saya, adalah anugrah Allah
yang sangat dahsyat."
Kami para da'i diingatkan, jangan hanya terang bagi lingkungan, tapi
keluarga kita habis hilang seperti lilin ditelan apinya sendiri. Betapapun
sibuknya, doa dan cinta tak pernah boleh dilupa.
Alkisah, Allahuyarham KHA. Wahab Chasbullah sudah sangat sepuh, tapi
tamu yang berkunjung tetap beliau layani dengan sabarnya. Bersila sembari
bersandar, beliau dengarkan yang bercerita, simak yang curhat, jawab yang
bertanya, beri fatwa pada yang meminta, dan doakan yang minta doa. Ketika semua
pulang, ada satu pemuda masih duduk sahaja.
"Panjenengan masih ada hajat?", tanya beliau.
"Injih."
"Saking pundi? Tinggalnya di mana?"
"Tambakberas sini."
"Paring asma? Namanya siapa Nak?"
"Adib."
"Bin?"
"Abdul Wahab Chasbullah."
Lalu Gus Adib-pun mendekat sambil merunduk dan tersenyum untuk sungkem
pada Ayahandanya itu. Salah satu pendiri Nahdlatoel Oelama itu terkekeh sembari
memeluk putranya. Rupanya Sang Gus pulang liburan dari Pondok. Dalam usia setua
Mbah Wahab, doa untuk anak takkan dilupa, tapi wajah tak selalu segera
terpindai rautnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar