Majalah
Tarbawi Edisi 212 Th. 11 Syawal
1430 H/ 8 Oktober 2009 M
Lelaki kaya raya itu menangis tersedu-sedu,
selama berhari-hari, menjelang kematiannya. Bukan karena ia takut mati. Atau
sedih karena harus meninggalkan kekayaanya yang meJlimpah ruah. Ia justru sedih
karena tak mengerti bagaimana menafsirkan kekayaan dan kemakmurannya.
Begini ia bertanya pada dirinya sendiri:”Ada
sahabat Rasulullah saw yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mus’ab bin Umaer,
yang ketika wafat tidak meninggalkan harta sedikitpun jugJa. Ia bahkan tidak
punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup
maka kakinya terbuka, jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa
artinya bawa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara mereka
tidak? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke neraka??”
Lelaki kaya itu Abdurrahman bin Auf,
mengulang-ulang pertanyaan itu , semberi menangis, sampai ia menghembuskan
nafasnya yang terakhir.
Kebanyakan dari kita belajar makna zuhud dari
cerita itu. Tapi begitu kita menarik konteks di mana Abdurrahman bin Auf hidup
dan bekerja, segera saja kita temukan nama beliau di deretan para sahabat Nabi
yang ikut berjihad di semua medan tempur sepanjang hidupnya, ahli ibadah yang tidak
kenal lelah, penderma yang tidak pernah berhenti berderma, yang pertama kali
mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab
terbunuh. Semua makna zuhud ada di situ, persis di jantung kepribadiannya. Ia
seharusnya tidak perlu menangis seperti itu jika semua makna zuhud itu kita
nisbatkan kepada dirinya.
Tapi begitulah mereka. Mereka mewariskan
pelajaran yang lain yang belum kita pahami. Abdurrahman bin Auf, satu diantara
sekian nama besar pengusaha dari kalangan sahabat Rasulullah saw, yang bekerja
keras menciptakan kemakmuran dan kekayaan di tengah masyarakat Muslim yang baru
berkembang menjadi pemimpin peradaban baru. Pembebasan-pembebasan yang terjadi
sejak masa Abu Bakar hingga tujuh tahun pertama pemerintahan Usman bin Affan
telah memberikan kemelimpahan bagi kaum Muslimin. Mereka mendapatkan
wilayah-wilayah baru dengan segala isinya, yang salah satu artinya adalah
pertambahan dan penggandaan pada pendapatan pemerintah, baik pada sumber yang
sebelumnya sudah ada seperti zakat dan ghanimah, atau dari sumber yang baru
seperti jizyah, kharaj dan usyur.
Itu menjelaskan tafsir utama atas kemakmuran
di era itu: bahwa pada mulanya kemakmuran itu diciptakan oleh
pembebasan-pembebasan besar. Kelak sejarah mencatat kebenaran fakta ini: bahwa
bangsa-bangsa yang makmur selalu mencatat kemakmurannya dari
kemenangan-kemenangan besar dalam perang-perang besar. Kemakmuran Eropa dan
Amerika, misalnya, adalah hasil kemenangan dalam perang dunia pertama dan kedua
serta perang dingin.
Tapi itu bukan tafsir tunggal atas
kemakmuran. Pembebasan-pembebasan besar memberikan kelimpahan pada sumber daya
untuk menciptakan kemakmuran. Tapi hanya bangsa yang memiliki
pengusaha-pengusaha besar yang bisa memanfaatkan dan mengkapitalisasi sumber
daya baru itu menjadi kekayaan yang melimpah. Begitulah kemakmuran terjadi di
era itu: pembebasan-pembebasan besar memberi tambahan sumberdaya, tapi di
tangan dingin para pengusaha tangguh, seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin
Affan, sumber daya itu menjadi kekayaan yang melimpah. Lihatlah misalnya,
bagaimana Usman bin Affan menghilangkan dominasi pengusaha Yahudi di Madinah.
Mereka tidaklah lebih besar dari para pengusaha lain. Tapi mereka adalah
pengusaha pembelajar. Dan diantara yang mereka pelajari adalah bagaimana
mengimbangi ketangguhan para mujahidin yang terus-menerus membebaskan
wilayah-wilayah baru sembari mengimbangi
pengusaha-pengusaha setempat yang sebelumnya mendominasi wilayah itu.
Amerika mungkin punya jenderal Mc Arthur yang menaklukkan kawsan pasifik dalam
perang dunia kedua, tapi juga punya Bill Gate yang mengisi komputer-komputer
kita dengan softwarenya atau Warren Buffet yang mengisi lantai bursa kita
dengan investasi-investasinya. Begitu juga era itu: ada pembebas sekaliber
Khalid bin Walid, tapi juga ada pengusaha tangguh seperti Abdurrahman bin Auf
dan Usman bin Affan.
Jadi tangis Abdurrahman bin Auf itu adalah
pertanyaan yang rendah hati: bisakah perannya sebagai pengusaha mengimbangi
peran Mujahidin di mata Allah??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar