(Tarbawi
Edisi 191 Th.10 Dzulqa’idah 1429 H/ 27 November 2008 M)
Akal-akal
besar itu selalu mampu mengunyah semua masalah zamannya. Tak jarang bahkan akal
mereka menembus dinding waktu zaman mereka, dan merengkuh semua masalah yang
terjadi berpuluh bahkan berates tahun sesudah mereka pergi. Bukan karena ilmu
yang dating bagai embun pagi yang diteteskan di atas daun otak mereka maka
mereka tahu semuanya. Bukan, mereka mengunyah semua masalah zaman mereka
melalui upaya memahami yang tidak pernah berhenti. Maka mereka selalu sanggup
merespon semua masalah yang muncul di zaman mereka.
Mereka
bukan orang yang tahu segala hal. Tapi mereka adalah pembelajar yang konstan
yang selamanya dipicu oleh rasa ingin tahu yang tak habis-habis. Maka realitas
menyediakan tantangan. Dan mereka memberikan solusi. Qur’an dan hadist sebagai
sumber utama Islam dijaga Allah sepanjang zaman melalui akal-akal besar itu. Al
Qur’an dikumpulkan di zaman Abu bakar lalu ditulis secara formal di zaman
Utsman dan dijadikan sebagai standar bacaan
serta digandakan dalam lima mushaf. Ini yang kemudian dikenal sebagai
mushaf utsmani. Dengan begitu kemurnian Al Qur’an terjaga dari semua bentuk
penyimpangan sepanjang masa. Selamanya.
Penjagaan
kemurnian Hadist Rasulullah Saw mungkin jauh lebih kompleks. Disamping perlu
waktu untuk memisahkan teks-teks Hadist dari teks-teks Qur’an karena secara
lisan keduanya diucapkan oleh lisan yang sama tapi dengan rasa bahasa yang
sedikit berbeda, juga rentang waktu pengucapannya serta jalur periwayatannya
yang rumit. Tapi ada akal besar di zaman Umar Bin Abdul Aziz, yaitu Imam Al
Zuhri , yang kemudian ditugasi sang khalifah untuk memulai kodifikasi
hadist-hadist Rasulullah. Ratusan tahun kemudian dunia ilmu pengetahuan
mengabarkan bahwa metode ilmu hadist ini adalah salah satu warisan pengetahuan
Islam yang tidak pernah tertandingi oleh semua peradaban lain. Seandainya
metode itu dipakai untuk meriwayatkan sabda-sabda Nabi Isa As, atau
meriwayatkan para filosof Yunani, mungkin takkan ada riwayat yang sahih yang
sampai kepada kita.
Akal-akal
besar itu yang kemudian menjadikan ilmu fiqh sebagai ilmu yang terus menerus
mengayomi pertumbuhan peradaban Islam, khususnya di era para imam pendiri
mazhab dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, dari
ujung abad pertama hingga awal abad ketiga hijrah. Ilmu fiqh telah berkembang
menjadi ilmu pengetahuan yang menjawab semua masalah dalam semua aspek
kehidupan. Imam Syafii bahkan mendirikan ilmu ushul fiqh yang jauh lebih solid
dibanding ilmu logika dan filsafat Yunani. Mereka bahkan masih sempat menjawab
masalah yang belum terjadi. Lalu ketika Imam Abu Hanifah ditanya mengapa mereka
melakukan itu, beliau hanya tersenyum sembari menjawab:”Orang berakal
menyediakan jawaban sebelum pertanyaannya datang.”
Begitulah
peradaban tumbuh dan berkembang di tangan akal-akal besar, yang sebenarnya juga
tidak serba tahu, tapi karena mereka adalah pembelajar sejati. Mereka selalu
ingin memahami segalanya secara lebih baik, maka mereka menjawab tantangan
zaman mereka secara lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar