MENAMPAR DIRI DI SIDOGIRI
Kala itu, pada sekira tahun 1745, Sayyid
Sulaiman ibn 'Abdirrahman Basyaiban yang baru saja membabat Sidogiri bersama
menantunya Syaikh Aminullah, demikian menurut salah satu hikayat, diundang oleh
Raja Mataram Sri Susuhunan Pakubuwana II (bertakhta 1726-1749) ke Surakarta untuk
menjadi Pengulu Ageng, Mufti Utama Kerajaan. Tak kuasa menolak, beliau
berangkat dengan hati yang masih tercekam bimbang.
"Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa
perkara ini baik bagi agama & kesudahan urusanku, wujudkan, mudahkan, &
berkahilah", rintih beliau dalam doanya. "Tapi jika dalam ilmu di
sisiMu hal ini buruk; wafatkan aku dalam perjalanan agar aku bebas dari
keburukannya tanpa menyinggung hati pemimpinku."
Allah menakdirkan beliau wafat dalam
perjalanan di Betek, Mojoagung, Jombang.
Meski nyaris tak sempat mengasuh pesantren
yang didirikannya, 'Alim keturunan Rasulullah yang Ayahandanya berasal dri
Tarim dan ibunya bertrah Gunung Jati ini telah mengasaskan nilai kokoh bagi
para pelanjutnya dalam mengelola samudera ilmu yang hingga sekarang tegak gagah
lagi mandiri dengan ribuan santri pengabdi menyebar ke seluruh Nusantara,
ratusan cabang BMT pemberdaya masyarakat, hingga ratusan unit minimarket yang
menantang hegemoni ritel pemodal raksasa di Bang Wetan hingga Madura.
Semalam bersama Kyai Abrar Rifai & Gus
Mad, pengasuh Pesantren Baabul Khairaat, Lawang; kami membincang keberkahan
para pengasas yang wara' di berbagai Pesantren, dari Sidogiri hingga
Banyuanyar. Beliau berdua memerlukan diri hadir & memberi jamuan ruhani
yang begitu bermakna usai kami berbincang kepenulisan bersama para santri
pegiat Badan Pers Pesantren. JazaahumaaLlaahu biahsanil jazaa'.
Saya terkenang Syawal lalu ketika kami sowan
pada pengasuh Pesantren Sidogiri, Hadhratusy Syaikh KH Nawawi 'Abdul Jalil,
saya lancang mencandai beliau, "Rawuh ke Muktamar, Kyai?"
Dengan renyah beliau menjawab, "Enaknya
bagaimana? Datang apa tidak ya?"
Ketika sembilan Kyai anggota AHWA dalam
Muktamar dipilih; saya melihat sosok paling berbeda itu; berperawakan kecil,
tanpa surban, berpeci santri, berbaju putih sederhana, dengan sarung yang
rasanya kami dapat menebak harganya; KH Nawawi 'Abdul Jalil. Beliau, yang
mendapat suara terbesar kedua dalam pemilihan, adalah pula yang menolak paling
keras untuk dicalonkan menjadi Rais 'Aam.
Beliau juga 'Alim yang menulis kitab dengan
amat indah dalam Bahasa 'Arab; dan sekali lagi kerendahan hatinya tampak dengan
menulis nama hanya sebagai "Ibnu 'Abdil Jalil". Memuliakan ayahanda
sekaligus menjadi gambaran hasratnya yang seperti Imam Asy Syafi'i,
"Betapa inginnya aku; agar semua ilmu ini dipelajari manusia tanpa perlu
menyebut-nyebut namaku."
Akhlaq para santri beliau dalam memberi
dhiyafah pada kami yang siapalah ini sudah menggambarkan seperti apa Sang Guru
meneladankan laku pada mereka. Dan ini menyempurnakan tamparan ke diri kami
yang tertegun-tegun menyimak berbagai kisah tentang Sidogiri. Pekan ini rasanya
begitu berarti bagi kami; karena ziarah ke Sidogiri yang menampar-nampar hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar