SETIA dan
BERLEPAS DIRI
@salimafillah
Dalam film
Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott, adegan menegangkan itu berakhir
menakjubkan."Aku tawarkan kepadamu", ujar Shalahuddin kepada Balian
dari Ibelin, "Jaminan keselamatan bagi seluruh penduduk Jerusalem; Ratumu,
Uskup, para Ksatria, pria, wanita, dewasa, maupun anak-anak untuk keluar dengan
damai dalam pengawalan kami ke daerah aman yang dikuasai teman-teman Kristen
kalian. Takkan ada yang diganggu atau disakiti."
"Tapi",
sahut Balian yang setengah terkejut, "Ketika orang-orang Kristen merebut
kota ini, mereka membantai semua penduduknya dan menjadikan jalanannya
digenangi darah."
Lebih lima
abad sebelum Shalahuddin berdiri di tempat itu, seperti dikisahkan Imam Malik,
sahabat Nabi yang digelari Aminu Hadzihil Ummah, Abu 'Ubaidah ibn Al Jarrah,
memimpin sahabat-sahabat Rasulullah yang membuat warga Nasrani di Al Quds
berkata, "Mereka ini lebih utama daripada Hawariyyun murid-murid 'Isa Al
Masih."
Ketika dia
harus mundur dari serbuan Romawi di salah satu jabhah, dia meminta maaf kepada
penduduknya sebab tak lagi bisa melindungi mereka. Orang-orang Kristen Syam
itupun menangisinya dan berkata, "Kalian berbeda agama, tapi lebih kami
cintai daripada orang Romawi yang seagama. Hidup di bawah pemerintahan kalian
jauh lebih kami sukai daripada mereka."
Hari ini
kita sulit membayangkan bagaimanakah akhlaq generasi Abu 'Ubaidah dan generasi
Shalahuddin; yang bahkan membuat musuh terpesona. Hari ini kita mungkin harus
bersabar lebih panjang; jika ternyata para pembebas Masjidil Aqsha nanti harus
sekualitas mereka ini.
Ini kita
belum menyebut bagaimana Sang Khalifah yang naik unta bergantian dengan Aslam
budaknya, memasuki Kota Al Quds tepat ketika giliran sang Amirul Mukminin
menuntun dan sahayanya berkendara. Patriak Sophronius dan warga kota ternganga
akan kebersahajaannya, juga alasannya menolak ketika disilakan shalat di
gereja, "Aku khawatir kelak orang akan mengubah gerejamu menjadi Masjid
dan beralasan, "'Umar pernah shalat di sini."
Salah satu
simpul keimanan dalam Islam adalah Al Wala' dan Al Bara'. Al Wala’ dalam bahasa
Arab mempunyai beberapa arti, antara lain; setia, mencintai, menolong,
mengikuti, dan mendekat kepada sesuatu. Sedangkan kata Al Bara’ antara lain
menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri, dan berada di pihak serta keadaan
yang berbeda.
Dalam
syari'at, wala' seorang mukmin kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang mukmin
berarti setia, cinta, serta mengutamakan segala hal yang mendatangkan
keridhaanNya.
Nah, yang
sering kurang pas diterjemahkan adalah Al Bara' sebagai semata-mata benci. Ya,
di dalamnya memang ada unsur benci karena Allah. Tetapi tidak dikatakan
memiliki Al Bara' jika seseorang membenci orang kafir, tapi dalam perilaku dan
akhlaq dirinya sama atau bahkan lebih buruk.
Sesuai
maknanya, Shalahuddin dan Abu 'Ubaidah meneladankan pada kita bahwa yang akan
dirasakan manusia dari adanya Al Bara' adalah betapa berbedanya antara seorang
muslim dengan yang bukan dalam kejujuran, keadilan, sikap amanah, belas kasih,
dan akhlaq mulia yang ditampilkan.
"I'm
not those men", ujar aktor Ghassan Massoud yang memerankan Sang Sultan. Di
kalangan pesantren Salafiyah dikenal ungkapan, "Lastu kahaiatikum",
yang harfiahnya bermakna "Aku tak seperti polah kalian."
Terang
benderang tampak, mereka membantai, dia berbelas kasih. Mereka aniaya, dia adil.
Jika ditambahkan tentang kedatangan 'Umar; mereka bermewah, dia bersahaja.
Mereka tercela, dia terpuji.
Maka jika Al
Wala' tak hanya berarti cinta, namun juga mendidik diri untuk menjadi seperti
yang diinginkan oleh yang tercinta, yakni Allah dan RasulNya; maka Al Bara'
juga menjadi sempurna dengan menunjukkan keunggulan imani dalam hati yang
teterjemahkan dalam laku sehari-hari.
Pekerjaan
Rumah kita untuk menghadirkan pemimpin dengan Al Wala' dan Al Bara' sedahsyat
Shalahuddin dan Abu 'Ubaidah pastilah masih panjang. Tapi jangan hilang harap
lalu bermudah-mudah dalam m enyerahkan jutaan jiwa beriman pada yang tak
berwala' pada Allah dan RasulNya.
Ayat berikut
ini tetap akan menjadi panduan kita, tiada yang membatalkannya; sebab memilih
pemimpin shalih adalah hajat dunia akhirat.
“Janganlah
orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap siksaNya. Dan hanya
kepada Allah kembali kalian.”
(QS Ali
Imran [3]: 28)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar