NYAMASLAM
dan KETUT JELANTIK
@salimafillah
"Engkau
akan bertemu dengan para Ahli Kitab", begitu sabda Nabi ﷺ seperti
termaktub dalam Shahihain kepada Mu'adz ibn Jabal kala mengutusnya ke Yaman.
"Hendaklah
pertama-tama yang kau dakwahkan pada mereka adalah bahwa tiada Ilah selain
Allah."
"Jika
mereka telah menerima apa yang kau dakwahkan", lanjut beliau ﷺ, "Maka
berikutnya sampaikan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka
shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka telah menerima apa yang kau
serukan, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada
mereka zakat, yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan
pada orang-orang fakir di antara mereka. Dan jika mereka telah menerima apa
yang kau serukan, maka jauhkanlah dirimu dari harta pilihan mereka, dan
takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak
ada tabir penghalang antara doanya dengan Allah."
Nah, siapa
yang kita jumpai di Bali dan bagaimana fiqh dakwahnya?
Ketika
Maulana 'Utsman Hajji, ayahanda Sayyid Ja'far Ash Shadiq alias Sunan Kudus itu
pertama datang ke Majapahit dan menjadi pelatih tentara kerajaan,
kepribadiannya yang tegas namun hangat membuat para prajurit yang dilatih amat
menghormatinya, bahkan sebagian turut bersyahadat memeluk Islam.
Tersebut
dalam Babad Dalem yang memuat kisah para Raja di Pulau Dewata, bahwa pada abad
XV sebanyak 40 prajurit Majapahit beragama Islam mengawal kepulangan Raja Dalem
Waturenggong dari Gelgel setelah seba ke Trowulan. Mereka lalu memutuskan mukim
di Gelgel dan dikenal sebagai muslimin pertama di Jazirah Bali. Orang Bali
menyebut mereka Nyamaslam, "Nyama" berarti saudara dan
"Selam" bermakna Islam.
Salah satu
buah dakwah paling ranum mungkin ada di Buleleng, bekas kerajaan yang
beribukota Singaraja. Adalah Gusti Ketut Jelantik, nama yang menyejarah itu.
Ya, ada banyak lelaki hebat yang menggunakan nama ini. Beberapa diantara mereka
memangku jabatan Raja, baik dari Dinasti Kepakisan-Panji Sakti maupun Wangsa
Karangasem.
Yang paling
masyhur adalah pahlawan bangsa itu, Mahapatih Buleleng yang berjuang
mempertahankan Benteng Jagaraga dan Kerajaan yang amat dicintai lagi
mencintainya selama kurun 1846-1849 hingga gugur dalam puputan.
Yang lain,
Gusti Anak Agung Ngurah Jelantik Celagi adalah seorang pangeran Buleleng yang
dengan amat tekun mempelajari Islam di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Yusuf
Shalih.
Ketika
dinyatakan lulus, dia mengkhatamkan penulisan sebuah Mushhaf Al Quran yang
berkhath indah dengan hiasan ornamen Bali pada sekira 1820.
Atas anugrah
dari Kakandanya, Raja Gusti Anak Agung Ngurah Jelantik Polong, didirikanlah
Masjid Jami' Buleleng pada 1846. Sang Pangeran bersama Sayyid 'Abdullah Maskati
menjadi pengurus dan pembinanya.
Ke arah
selatan dari Buleleng, di Bukit Gigit tinggal masyarakat muslim Pegayaman.
Mereka hidup dalam budaya yang sama dengan warga Bali umumnya. Anak pertama
disebut Wayan, anak kedua Nengah, anak ketiga dan keempat masing-masing Nyoman
dan Ketut. Nama Wayan Arafat dan Ketut Ahmad Ibrahim, terdengar begitu unik.
"Burdah",
yang semula adalah judul qashidah karya Imam Al Bushiri, di daerah ini menjadi
nama sebuah kesenian. Diiring rebana yang lebih mirip gendang Bali,
disenandungkan syair indah yang sekilas mirip Kidung Wargasari, tapi bukan
dalam Bahasa Bali maupun Jawa Kuna, melainkan Arab.
Sepanjang
dinasyidkannya syair itu, seorang muda tampil di pentas. Kepalanya diikat
udeng, dengan memakai kamben mekancut, kain yang melilit pinggang dan ujungnya
terjurai dengan ujung meruncing sampai di bawah lutut. Dia meliak-liukkan
badan, dan memainkan mata serta jemari, seperti lazimnya dalam tarian Bali.
Tapi haki kat sebenarnya konon ini adalah gerakan ketangkasan silat yang
diwarisi dari moyang mereka yang adalah para prajurit muslim.
Siang tadi,
saya bersama Masaji Wijayanto pemeran Yudi dalam #kmgpthemovie menemani Shalih(in+at) di Denpasar
mengapresiasi karya Bunda @helvytianarosa dan sutradara Firmansyah ini.
Dalam
tafakkur saya terus mencari-cari, pendekatan dakwah seperti apa yang terus
harus saya khidmahkan setidaknya melalui kajian rutin Majelis Jejak Nabi. Dalam
hati saya terus mendoakan, bahwa mereka, para Shalih(in+at) Bali akan terus
menjadi duta-duta Rasulillahﷺ dalam menampilkan cahaya bening Islam dan
menjadi wasilah Allah menebar rahmatNya di jazirah yang dakwahnya penuh
tantangan.
Syabas untuk
para penabur cahaya Allah di Bali. Baarakallahu fiikum.
Semoga
@masaji_ yang berpengalaman memerankan Yudi si da'i kreatif kelak juga banyak
berkontribusi. Ya Allah, ridhailah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar