PULANG KE
KOTA KITA
@salimafillah
"Susah
menebak hati orang Yogya", kata seorang teman dari Sumatera. "Semua
hal ditanggapi dengan senyum. Tapi arti senyumnya banyak sekali."
Tentu kawan
ini melakukan penggebyahan. Tak semua orang Yogyakarta tersenyum sebanyak yang
beliau gambarkan itu. Tapi baiklah saya akan bercerita tentang seorang yang
perjuangannya akan diperingati sebagai berdirinya kota ini; Pangeran
Mangkubumi. Dan beliau memang banyak tersenyum dalam berbagai keadaan.
Pun bahkan
ketika menerima penghinaan yang kasar dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem
Baron van Imhoff dan Patih Pringgalaya di balairung kakaknya, Raja Mataram
Sunan Pakubuwana II pada 1746, beliau juga tersenyum. Tapi malam itu setelah
pamit dan memohon restu Kakandanya, beliau akan memimpin salah satu perang
terdahsyat yang dihadapi VOC sepanjang sejarahnya.
Pada 1755,
perang yang menguras kas penjajah dan menimbulkan kerugian besar itu harus
diakhiri. Seorang Arab yang mendarat di Semarang bernama Syarif Akbar Syaikh
Ibrahim dibujuk oleh Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Hartingh untuk
menyama-nyama utusan Sultan Turki 'Utsmani dan membujuk sang Pangeran untuk
menghentikan peperangan dan menerima pembagian Negara Mataram menjadi dua,
berbagi dengan keponakannya Pakubuwana III yang bertakhta di Surakarta.
Kompensasinya, gelar Sultan resmi dari Daulah 'Utsmaniyah akan ditahbiskan bagi
dirinya.
Merasa bahwa
rakyatpun turut menderita karena perang yang menewaskan panglima pasukan VOC
Kolonel De Clerck dan membuat Gubernur Jenderal Van Imhoff terluka parah pada
1750 di Benteng Ungaran itu, perjanjian pun ditandatangani di Giyanti. Beliau
menerima Kesultanan barunya yang beribukota Yogyakarta sebagai Sultan
Hamengkubuwana I.
Tapi jika
kita belum bisa mengalahkan musuh, setidaknya buatlah agar hatinya selalu
rusuh.
Jan Greeve,
Gubernur VOC untuk Nord Oost Kust yang menjabat 1787-1791 mencatat kenangan tak
terlupakan seperti direkam M.C. Ricklefs dalam "Yogyakarta Under Sultan
Mangkubumi" tentang betapa merepotkannya si senyam-senyum ini bahkanpun di
masa damai.
Bagian dari
Perjanjian Giyanti adalah VOC diizinkan mendirikan benteng pengawas di ibukota
kedua negeri; Surakarta dan Yogyakarta. Berbeda dengan di Surakarta yang Fort
Rostenburg selesai dibangun hanya dalam waktu singkat, Fort Vredeburg harus
menanti belasan tahun kemudian dengan berbagai kendala yang agaknya disengaja
Sultan dari soal letak, pengadaan tanah, 'banjirnya' lokasi, bahan bangunan
yang lambat disediakan, pengiriman material yang 'dibegal', 'amblesnya'
pondasi, kerusakan bata dan kapur, pergantian berulangkali pejabat yang
diserahi tanggungjawab, dan tenaga kerja serta tukang yang 'malas dan
asal-asalan'.
Jan Greeve
geleng-geleng kepala karena di seberang selatan sana, pembangunan Benteng
Baluwarti Keraton Yogyakarta yang berukuran puluhan kali lebih besar berjalan
lancar di bawah pimpinan putra mahkota Bendara Raden Mas Sundoro.
Ketika
diberlakukan aturan agar para raja Nusantara mengucapkan selamat tiap kali ada
pengangkatan Gubernur Jenderal VOC yang baru; Sultan meminta agar Patihnya
beserta para nayaka difasilitasi untuk berangkat ke Batavia. Sementara
raja-raja lain mengirim beberapa orang saja, rombongan duta Yogyakarta berjumlah
3000 personil sehingga kedatangan mereka ke Batavia, selain menghabiskan
anggaran, lebih seperti parade pameran kekuatan Sultan Mangkubumi daripada
mengucapkan selamat.
Berjalan dua
kali untuk pengangkatan Van Riemsdijk pada 1775 dan Reinier de Klerck pada
1777, Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting akhirnya meminta Sultan cukup
mengucapkan selamat di Semarang saja diwakili Gubernur Nord Oost Kust. Tapi
Sultan menolak. Martabatnya, kata beliau hanya sejajar dengan Batavia. Adalah
penghinaan baginya kalau ucapan itu diberikan di Semarang.
Jan Greeve
yang datang ke Yogyakarta untuk merundingkan beberapa hal termasuk perkara ini
harus menghadapi 'teror' serta 'horor' lanjutan.
Setelah
mengunjungi Surakarta, dia menuju Yogyakarta melalui Jalan Raya Prambanan. Di
sepanjang jalan masuk ke Keraton, prajurit Yogyakarta berbaris dan he ndak
menyambut dengan salvo kehormatan. Anehnya seluruh senapan diarahkan ke kereta
Jan Greeve, bahkan juga beberapa meriam. Dan begitu aba-aba diberikan,
"Jeglar!", mereka menembak serentak ke arah Gubernur VOC itu. Jan
Greeve sudah memejamkan mata dan menutup telinga, siap mati. Tapi ternyata
semua berpeluru kosong. Dengan gemetar dia keluar dari kereta dan Sultan
Mangkubumi menyambut serta memeluknya dengan senyum manis penuh arti.
Butuh
beberapa hari sampai Jan Greeve pulih dari shock-nya.
Ketika dia
menyatakan siap untuk berunding, Sultan justru mengajaknya menonton rampogan
macan di alun-alun. Tanding harimau dengan kerbau ini selalu dimulai dengan
agresifnya sang raja hutan, tapi lalu ia menjadi cepat lelah dibanding kerbau
yang lamban namun tabah dan akhirnya keluar jadi pemenang. Sultan hendak
menyimbolkan Belanda sebagai sang harimau dan Jawa sebagai kerbau. Maka Sultan
tersenyum lagi saat Jan Greeve mengusulkan dimasukkan satu harimau lagi.
Harimau kedua itu ternyata bukan membantu kawannya, tapi malah bergelut saling
melemahkan dan kerbaupun kian berjaya.
Malamnya,
Sultan Mangkubumi menjamu Jan Greeve sembari berperahu di sekitar Pulo Kenongo
kompleks pemandian Taman Sarinya yang indah lagi penuh labirin. Ketika sampan
bersepuh emas itu dihentikan di tengah kolam luas, tiba-tiba Sultan pamit
meloncat ke sampan lain di dekatnya dengan membawa semua dayung dan
meninggalkan sang Gubernur VOC. Tak berapa lama, semua lampu Taman Sari
dimatikan dan Jan Greeve menggigil di tengah sepi. Tetiba terdengar suara salak
senapan bersahut-sahutan yang membuat Jan Greeve bertiarap dengan keringat
dingin mengucur deras.
Drama
berakhir ketika Sultan tiba-tiba kembali muncul bersamaan hidupnya lampu dan
beliau mengulurkan tangan sambil tersenyum dan meminta maaf karena adanya
sedikit 'kekacauan' dan beliau harus turun tangan menyelesaikannya.
Sultan
membawa tamunya kembali ke Keraton dengan menunjukkan vitalitas luar biasa di
usianya, mendaki berbagai anak tangga naik turun dari Pulo Kenongo. Sesekali
sembari menunggu Jan Greeve yang terengah-engah beliau memeragakan tarian
beksan gagah yang digubahnya.
Ah,
mengenang perjuangan beliau juga perjuangan cicitnya, Diponegoro, dengan
memakai 'pakaian taqwa' yang dicintainya ini, saya kok terfikir usul agar
Bandara baru Yogyakarta yang dibangun di Kulon Progo nantinya dinamai
"Pangeran Mangkubumi". Syabas, rahimahuLlaahu Sultan penuh senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar